Tampilkan postingan dengan label Comedy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Comedy. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Desember 2018

Daddy's Home 2 (2017)

Komedi sanggup dikatakan baik bila bisa memenuhi tujuan memancing tawa, sebagaimana horor menyulut ketakutan, atau adu memacu adrenalin. Menjadi Istimewa jikalau terdapat adegan (dengan fungsi mendukung tujuan itu) yang terus tertanam di ingatan. Pada Daddy's Home, momen tersebut hadir ketika Brad (Will Ferrell) terjungkal ke tembok akhir gagal mengontrol motor milik Dusty (Mark Wahlberg). Sekuelnya berusaha mengulangi sihir serupa tatkala Brad kelabakan mengendalikan mesin penyedot salju. Konsep menyerupai dengan hasil berbeda lantaran sang sutradara, Sean Anders, sekedar berusaha meniru. Itulah mengapa Daddy's Home 2 bukan suguhan spesial. 

Tapi bukan pula komedi buruk, dan saya pun tergelak menyaksikan situasi abstrak ketika jumlah ayah berlipat ganda. Selaku versi ekstrim dari anak masing-masing, datanglah para kakek; Don (John Lithgow) yang lebih cerewet, konyol, dan norak dibanding Brad, juga Kurt (Mel Gibson) si tua-tua keladi lewat tingkat kekejaman serta sarkasme yang menciptakan Dusty terlihat lembut. Demi nuansa kekeluargaan Natal, mereka bersama istri dan bocah-bocah menentukan berlibur di sebuah resort. Kondisi ini memfasilitasi pemandangan menarik semisal keempat ayah dengan kegilaan berlainan berkumpul di tengah malam, berdebat soal termostat. 
Banyak perdebatan, banyak pertengkaran, yang disebabkan kekonyolan Don dan Brad maupun sinisme Kurt, takkan berujung pembicaraan waras. Anders mengemas segala perbincangan itu bagai peperangan. Perang verbal di mana kalimat yang karakternya lontarkan tak ubahnya berondongan peluru senapan mesin. Bising, cepat, kacau nan tanpa aturan. Enggan memperhatikan timing, formasi punch line di naskah goresan pena Anders dan John Morris gagal mendarat keras pada urat tawa penonton. Walau berkat jajaran pemainnya, rasa kantuk belum hingga menguasai. 

Ferrell tetap pesakitan, seorang anak kecil bertubuh remaja dengan kesialan beruntun, yang semakin ia menderita, semakin penonton terhibur. Sewaktu Wahlberg sebagai Dusty sekarang merupakan tokoh cerdik paling sehat sementara bakat komikal John Cena dibatasi minimnya bahan pendukung, dua kakek sanggup mencuri atensi. Gibson memainkan tugas penuh wibawa sekaligus bermulut pedas menyerupai kerap ia lakoni, hanya saja, sekarang maskulinitas tersebut digunakan untuk pondasi humor yang nyatanya sukses besar. Begitu gampang ia tebang setiap kesempatan. Sedangkan Lithgow, melalui senyum lebar dan mata berbinar yakni yang terbaik. Menggelitik semenjak awal, ia remukkan perasaan hanya dalam satu momentum emosional.  
Secara mengejutkan Daddy's Home 2 mempunyai setumpuk porsi drama, atau setidaknya tuturan serius yang bersembunyi di belakang kedok banyolan-banyolan. Wajar, mengingat bertambahnya jumlah ayah berarti bertambah banyak pula masalah. Terlampau banyak malah, hingga filmnya kesulitan menyediakan penanganan total. Beberapa problematika memperoleh resolusi natural, macam relasi Dusty-Kurt yang bagus namun sederhana. Tapi ada pula yang tertinggal, misalnya ketika perjuangan Kurt menarik perhatian cucu-cucu terlupakan. Terdapat 9 orang anggota keluarga (10 ditambah Roger-nya Cena), dan mereka semua diberi subplot. Berlebihan, meski disertakannya sekelumit pesan mengenai hak perempuan semenjak kecil terasa melegakan. 

Penutup berupa nomor musikal diiringi lagu Do They Know It's Christmas? bak pertunjukan darurat yang tampil lebih mendadak daripada suguhan Bollywood. Konklusi pun terasa ajaib, tapi bukankah Natal memang wacana keajaiaban? Mengusung semangat tersebut, walau dihukum menggunakan jalan yang terkesan malas, Daddy's Home 2 masih suatu komedi yang baik, biarpun takkan hinggap usang di benak para penontonnya. 

Mau Jadi Apa? (2017)

(Review ini mengandung spoiler)
Menulis tentang Mau Makara Apa? begitu rumit. Selaku komedi, film yang diangkat dari buku berjudul sama mengenai kehidupan Soleh Solihun semasa kuliah ini tergolong solid. Walau kerap meleset, humornya tampil segar, mencerminkan "kenakalan" Soleh berceloteh. Sekali lagi, selaku komedi, Mau Makara Apa? patut direkomendasikan. Namun ada satu poin terkait konflik besarnya yang hadir dalam perspektif mengganggu. Poin yang mempunyai paralel dengan kontroversi fenomenal yang belakangan tengah mengguncang industri perfilman: sexual abuse allegation

Memang, di samping media melucu juga curahan memori Soleh wacana masa mudanya, film ini menyelipkan sederet isu penting nan relevan, tentunya secara penuh senda gurau. Contohnya ketika Soleh bergabung sebagai wartawan majalah kampus Fikom Unpad, Fakjat (Fakta Jatinangor) demi mendekati pujaan hatinya, Ros (Aurelie Moeremans). Persoalan sumbangsih masyarakat terhadap negara disinggung dalam setting kala iklim politik nasional sedang memanas pasca reformasi. Haruskah perwujudan kepedulian melulu soal politik hingga menolak bahasan "remeh" seputar olahraga dan seni? Apakah jurnalistik "berbobot" wajib identik dengan keseriusan dan dibawakan kaku? 
Kejengahan itu menggiring Soleh bersama kelima rekannya   Lukman (Boris Bokir), Fey (Anggika Bolsterli), Marsyel (Adjis Doaibu), Eko (Awwe), Syarif (Ricky Wattimena)   mendirikan majalah alternatif berjulukan Karung Goni (Kabar, Ungkapan, Gosip, dan Opini), membahas musik, film, percintaan, hingga gosip terhangat di lingkungan kampus. Seiring kesuksesan Karung Goni, timbul hasrat memaparkan kasus yang lebih berat, membawa filmnya mengkritik represi media serta penutupan fakta dari publik guna melindungi nama baik perseorangan, instansi, atau lebih luasnya, negara. 

Mau Makara Apa? tak ketinggalan membahas asam manis perkuliahan dengan enam protagonis sebagai jembatan. Mulai patah hati hingga dilema personal mahasiswa. Soleh bersama Khalid Kashogi dan Agasyah Karim jeli menunjukkan observasi lewat skenario, menyinggung betapa problematika sejatinya bersifat relatif. Bagi Eko, sang ayah patut dibenci, lantaran kegagalan bisnisnya mengancam impiannya lanjut kuliah ke Australia batal. Namun bagi Lukman, Eko seharusnya bersyukur alasannya ialah ayahnya masih berusaha, sementara ayah Lukman sibuk berjudi. Di antara barisan kekonyolan, sudut pandang ini terasa spesial, dilengkapi tatanan momen dramatik yang tersaji apik. Mungkin ini kiprah Monty Tiwa di bangku sutradara, menjaga biar Mau Makara Apa? tetap seimbang dikala Soleh liar melucu. 
Usaha menciptakan penonton merasa dekat diusung pula oleh selipan kultur terkenal masa 90-an hingga awal 2000 (lagu, pengucapan nama-nama tenar) dan gaya komedi. Soleh ingin "mengakrabi" penonton menggunakan teknik breaking the fourth wall, juga meta jokes untuk melontarkan referensi-referensi kekinian yang dipahami penonton, dari Cek Toko Sebelah atau Ariel "Noah". Segar, tapi jadi berlebihan dikala berbaik hati menjelaskan banyolan wacana budaya terkenal masa lampau, seolah takut generasi kini tersesat. Padahal sewaktu makna humor dijelaskan, daya bunuhnya rawan lenyap. Untungnya Anggika Bolsterli senantiasa mencuat sebagai penyelamat tiap komedinya gagal mengenai sasaran, menjadi figur idola bersenjatakan performa asing layaknya "anak teater jarang manggung". 

Sampai gangguan itu tiba. (SPOILER ALERT) Alkisah, Karung Goni hendak membongkar pemerkosaan dosen terhadap mahasiswa yang Soleh dengar eksklusif dari korban, yang melarangnya memuat dongeng itu. Enggan menurut, kesannya informasi tersebut naik cetak. Melawan represi atas fakta dan berkedok "for the greater good", aspek ini mengesampingkan etika, menolak peka kepada korban. Walau filmnya berujung bahagia, di realita, perilaku demikian sanggup menambah luka batin. Mari memandang dari sisi mereka. Meski untuk kebaikan, apa anda bersedia menguak malu ke khalayak luas tanpa persetujuan? Karena selain berpikir kritis sekaligus lantang melawan, kita perlu sensitivitas didasari rasa kemanusiaan. 

Senin, 17 Desember 2018

Logan Lucky (2017)

Sekembalinya dari hiatus, Steven Soderbergh menyuguhkan antitesis dari film terlaris sepanjang karirnya, Ocean's Eleven. Masih perihal perampokan, hanya tanpa kemewahan, teknologi canggih, maupun keeleganan. Daripada ekspertis, karakternya merupakan sekumpulan orang kampung miskin berpakaian lusuh, cenderung bodoh, dengan seorang "ahli teknologi" yang tak dapat membedakan telepon genggam dan rumah, pula bangkit kesiangan di Hari-H. Pun Soderbergh turut mengubah James Bond menjadi kriminal liar. Logan Lucky tampil keren dan mengasyikkan tanpa perlu berusaha keras menjadi keren dan sok asyik.

Dalam naskah buatan Rebecca Blunt  nama samaran Jules Asner, istri sang sutradara  Channing Tatum memerankan Jimmy Logan yang gres saja dipecat dari pekerjaan konstruksi serta terbentur duduk masalah hak didik dengan mantan istrinya, Jo (Katie Holmes). Terhimpit soal ekonomi, Jimmy berencana merampok brankas di sebuah arena balap NASCAR dengan pertolongan kedua adiknya, Clyde (Adam Driver), bartender yang kehilangan tangannya di Irak juga percaya keluarga Logan dikutuk kesialan tak berujung dan Mellie (Riley Keough) si pegawai salon bermulut pedas. Turut direkrut yakni Joe Bang (Daniel Craig) yang tengah mendekam di penjara sebagai penyedia materi peledak. 
Jimmy, selaku otak misi, muncul dengan "10 aturan perampokan" yang terdiri dari "have a plan", "have a back-up plan" hingga "shit happens", menerangkan bahwa ia bukan seorang cerdas, sebagaimana cara filmnya menyusun heist, yang meski didasari perencanaan berlapis, keberhasilannya banyak melibatkan kebetulan dan kebodohan korban. Tapi filmnya memang tak mau berlagak pintar, dibentuk sebagai hiburan semaunya. Jangan lupa, kita sedang menonton film berjudul "Logan Lucky", bukan "Logan Smart" atau "Logan Genius". 

Skenario Blunt (atau Asner) lebih rapi dari kelihatannya, mengandung struktur sangat solid dalam mengaitkan bermacam-macam narasi yang berjalan beriringan. Selain sanksi perampokan, ada kembalinya pemmbalap Dayton White (Sebastian Stan), kontes yang diikuti puteri Jimmy, Sadie (Farrah Mackenzie), hingga kekacauan di penjara, yang berujung saling bertautan seiring penyelidikan oleh biro FBI, Sarah Grayson (Hilary Swank). Sesekali, balutan komedi berbasis absurditas situasi dan obrolan ala Coen Brothers (tangan palsu yang terhisap mesin penyedot, obrolan mengenai Game of Thrones yang melewati bukunya) ikut meramaikan suasana.
Pasca tiga tahun absen, rupanya Soderbergh sama sekali belum kehilangan sentuhan, menggerakkan alur dengan semangat bersenang-senang penuh energi sembari tetap memperhatikan ketelitian bernarasi. Filmnya liar namun gampang dicerna, urung tersesat dalam alur serta kejutan berlapis miliknya. Mewakili jiwa Logan Lucky, ketimbang mengikuti template musik heist pada umumnya, iringan lagu-lagu country yang lebih renyah dan "mentah", dengan Take Me Home, Country Roads sebagai jiwa inti pun diterapkan, menghasilkan perbedaan sisi estetika yang istimewa. 

Kekuatan Soderbergh dalam hal mengarahkan ensemble cast juga masih terang terpampang, memberi kesempatan bersinar tiap-tiap dari mereka. Tatum dengan aksen Southern-nya, Driver dengan ketertutupan yang canggung, dan Craig selaku pencuri perhatian melalui sisi eksentrik penghilang kekhawatiran bila James Bond membatasi jangkauan perannya. Bahkan peran-peran kecil yang dilakoni Seth MacFarlane dan Hilary Swank pun urung berlalu tanpa kesan. Nama yang disebut terakhir mencuatkan potensi terkait sekuel menarik walau perolehan Box Office rasanya membunuh cita-cita itu. Tapi bagi Soderberg yang merevolusi sinema independen lewat Sex, Lies, and Videotape, berani membuat ulang Solaris-nya Tarkovsky, dan menimbulkan Sasha Grey pemain utama di The Gilrfriend Experience, tak ada kemustahilan.

Minggu, 16 Desember 2018

Ingrid Goes West / Mother! / Beach Rats

Kumpulan review pendek kali ini dibuka oleh Ingrid Goes West, satir mengenai kultur media umum khususnya Instagram yang mestinya memantapkan posisi Aubrey Plaza di jajaran aktris kelas satu Hollywood. Pada Festival Film Sundance 2017, David Branson Smith dan Matt Spicer meraih Waldo Salt Screenwriting Award untuk naskah terbaik. Berikutnya Mother!, horor psikologis karya Darren Aronofsky yang membelah penonton menjadi dua kubu sekaligus menyulut kontroversi terkait alegori mengenai Alkitab. Terakhir ada Beach Rats, film bertema LGBT yang juga berjaya di Sundance, membawa Eliza Hittman meraih sutradara terbaik.

Ingrid Goes West (2017)
Budaya media umum bukan saja telah menjamur, juga beracun. Nampak pada tingkah Ingrid (Aubrey Plaza) yang menguntit selebgram asal L.A., Taylor (Elizabeth Olsen), meniru caranya berpakaian, makanan favorit, hingga alat mandi. Ingrid serupa sampaumur kini yang rela menggandakan jati diri (baik literal maupun metaforikal) demi status dunia maya walau tanpa kehidupan dunia nyata. Arah alur gampang ditebak, tapi kekuatan utama film ini yaitu observasi soal ragam sikap destruktif pengguna media sosial, dari perjuangan mendaki kasta, stalking, hingga obsesi pendorong kesediaan meniru sang idola. Topik ini spesifik tapi relevan bagi tiap situasi juga era, bahkan sebelum Instagram merajalela. Selain setia bergaya canggung, Plaza menunjukan kapasitas memainkan nada serius, ahli dalam memaparkan fluktuasi emosi. Berkatnya, pengamatan kita menghasilkan efek beragam, sesekali menaruh kasihan, kadang menertawakan, menikmati kala Ingrid kena batunya. Olsen sebaliknya, benderang, layaknya sosok ideal yang menciptakan orang ingin berteman bahkan menjadi dirinya. Titik rendah filmnya terletak di konklusi kurang tegas, ingin melanjutkan satir ke tataran lebih jauh atau mengusung pesan positif yang justru berujung justifikasi pada pihak yang disindir. (3.5/5)

Mother! (2017)
Melalui Mother!, Aronofosky tidak tertarik menyadarkan apalagi menginspirasi. Sepertinya fase itu sudah usang berlalu, menyisakan amarah yang menanti tercurah. Aronofosky murka pada banyak pihak, dari sikap semau sendiri dan ketidakpedulian insan yang melukai Mother Nature (Jennifer Lawrence), pula representasi Tuhan dalam sosok Him (Javier Bardem) yang menurutnya tergila-gila akan puja-puji. Guna menuturkan interpretasi lepas dari Kitab Kejadian ini, pemakaian narasi konvensional memang sulit dilakukan, sehingga gaya metaforikal bersifat perlu, bukan pretensius. Meski bertebaran simbol, alur yang tetap mengikuti kaidah tiga babak (awal-tengah-akhir) memudahkan penonton menyusun keping teka-teki. Jangan khawatir daya tariknya hilang begitu tema besar terpecahkan, alasannya Mother! masih menyimpan setumpuk absurditas selaku perhiasan detail cerita, dengan titik puncak gila sebagai penegas bahwa kemampuan Aronofsky mengganggu batin penonton, yang tampak semenjak awal karirnya, belum luntur. Aronofsky sukses menjahit rapi hikayat Bibel versinya ke dalam konflik suami-istri yang masing-masing sanggup bangun sendiri. (4.5/5)

Beach Rats (2017)
Pencarian jati diri, konformitas, hubungan keluarga yang berjarak. Eliza Hittman menerapkan lika-liku dunia sampaumur itu dalam lingkup LGBT. Frankie (Harris Dickinson) rutin menghabiskan malam di depan komputer menelusuri gay chat room untuk mencari laki-laki lebih tua. Meski demikian, beliau enggan mengaku gay, punya pacar perempuan walau sulit terangsang kala berafiliasi seks, bersahabat, menghisap ganja bersama tiga mitra yang menganggap hubungan sesama jenis menggelikan pula menjijikkan. Bahwa sampaumur bersedia menyangkal identitas, menyesuaikan dengan "norma" semoga diakui, jadi sorotan utama Hittman. Dickinson memberi ketenangan namun dinamis dalam bertukar kalimat. Performa ini selaras dengan "topeng" Frankie yang menyimpan problem sembari ingin tampak "normal" di lingkungan sosial. Hélène Louvart menggunakan kamera 16mm, merangkai kelembutan malam minim cahaya, menghasilkan gambar-gambar yang menyokong perasaan karakternya. Sementara Hittman membungkus adegan seks melalui kelembutan serupa, meniadakan kesan vulgar murahan. Solid, tapi Beach Rats takkan bertahan usang di ingatan akhir ketiadaan pembeda dibanding drama indie low budget kebanyakan (visual stylish, slow burning). Terlebih penokohannya kurang mendalam, sebatas melayani tugas masing-masing ("the distant mother", "the girlfriend", "the asshole homophobic friends") tanpa kepribadian menarik. (3.5/5)

5 Pemuda Jagoan: Rise Of The Zombies (2017)

5 Deadly Angels. Begitu judul internasional untuk 5 Cewek Jagoan (1980) karya Danu Umbara. Tentu para protagonis 5 Cowok Jagoan buatan Anggy Umbara, putera Danu, kurang pas disebut "Deadly", lantaran daripada membantai lawan, mereka lebih banyak memamerkan kekonyolan. Bahkan Reva (Cornelio Sunny) yang hebat mengayunkan katana bukan laki-laki berperilaku normal. Dia kolam sufi cinta hening yang tersenyum bijak menyikapi semua hal, tapi berkembang menjadi parodi tokoh anime tiap kepalanya terbentur, lengkap dengan rambut lancip dan logat Jepang dengan artikulasi kacau. 

Kelima pendekar kita absurd luar dalam. Dedi (Dwi Sasono) yang berkepala botak tanggung, berperut gendut yakni pelupa akut yang melupakan ulang tahun istri dan anaknya. Danu (Arifin Putra) merupakan dukun palsu dengan alis menyatu. Lilo (Muhadkly Acho) si anak mama gemar ber-cosplay tidak pada tempatnya. Sementara Yanto (Ario Bayu), selain berambut kribo rupanya seorang pemimpi di siang bolong. Berkata punya pekerjaan mentereng padahal cuma cleaning service, kemudian mengaku berpacaran dengan Dewi (Tika Bravani), rekan sekantor yang bahkan jarang ia ajak berinteraksi. Tapi hubungan Yanto-Dewi lah pencetus alur film ini.
Dewi diculik oleh sindikat misterius. Demi menyelamatkan sang pujaan hati, Yanto menagih kesepakatan keempat sahabat masa kecilnya. Janji yang bahkan tidak diingat jelas, di mana mereka menyimpan memori berbeda akan masa kemudian itu sesuai kepribadian masing-masing. Kepribadian yang sebatas disusun oleh ciri komedik: Dedi pemalas yang ingin mendapat televisi, Danu mata duitan, Lilo anak manja, Yanto pengkhayal dan penakut, Reva pecinta ketenangan dengan tutur kata bijak. Kepribadian yang semata berfungsi memicu tawa penonton.

Komedi wajib lucu, tapi 5 Cowok Jagoan  ditulis oleh Anggy Umbara, Isman HS, Arie Kriting  berusaha mati-matian menciptakan penonton tertawa. Memakai visual gags lewat tampilan abstrak tokohnya hingga komedi situasi hasil tingkah laris mereka, Anggy ingin penonton tergelak di semua kesempatan, hingga terkadang terasa berlebihan. Tidak berhenti di situ, kita juga diberi tahu kapan mesti tertawa melalui iringan dampak bunyi yang sudah lewat masa keemasannya selaku komplemen komedi. Anggy memerah habis-habisan potensi humornya, menghasilkan inkonsistensi. Kerap gagal, tapi sekalinya berhasil, sulit menahan ledakan tawa. 
Apalagi setiap Cornelio Sunny bicara layaknya tokoh-tokoh dalam Crows Zero. Beberapa waktu lalu, saya menyaksikannya tampil depresif kemudian bercinta dengan jeep di Mobil Bekas buatan Ismail Basbeth. Serupa Abimana di Warkop DKI Reborn atau Reza Rahadian di My Stupid Boss, melihat bintang film "dramatik" mencoba tugas konyol (dan sukses) selalu menyenangkan. Begitu pula Ario Bayu dengan cara menodongkan pistol yang tak ubahnya James Bond kehilangan kewarasan atau Ganindra Bimo dengan bebeknya. Itulah sebab, walau totalitas Dwi Sasono kembali menghibur, kedua nama tadi lebih mencuri perhatian. 

Penampilan berkesan lain berasal dari Nirina Zubir. Berbeda dengan para pria, Nirina sebagai Debby tampil serius, mengundang decak kagum dikala secara meyakinkan menangani porsi laga. Bersama Tika (dan tiga aktris lain yang diungkap di penghujung film), Nirina membangun jembatan menuju remake 5 Cewek Jagoan, yang tampaknya bakal fokus pada aksi, menekan kadar komedi. Menjanjikan, mengingat kapasitas Anggy merangkai adu penuh gaya, menyerupai tampak dalam 3 (Alif, Lam, Mim), lebih mumpuni ketimbang komedi. 5 Cowok Jagoan sendiri tidak jauh beda, asyik berkat dosis gaya plus pemakaian CGI secukupnya, termasuk dalam mengemas para zombie memasuki paruh kedua. 5 Cowok Jagoan: Rise of the Zombies mungkin tak mulus mengalir, tapi saya tak ingin hiburan ini cepat berakhir.

The Killing Of A Sacred Deer / Brigsby Bear / Captain Underpants: The First Epic Movie

Saat saya merasa 2017 tidak bisa lebih aneh pasca menyaksikan Mother!The Killing of a Sacred Deer yang membawa Yorgos Lanthimos dan Efthymis Filippou memenangkan naskah terbaik di gelaran Festival Film Cannes simpulan Mei kemudian justru bisa lebih menghantam jiwa daripada karya Darren Aronofsky tersebut. Sebaliknya, Brigsby Bear buatan DaveMcCary menghangatkan jiwa lewat aura kasatmata yang dimiliki, begitu pula Captain Underpants: The First Epic Movie selaku pembiasaan dari buku dongeng anak Captain Underpants yang imajinatif. 

The Killing of a Sacred Deer (2017)
Dalam naskah pertunjukan Iphigenia in Aulis yang dipentaskan pada 405 SM, Agamemmon, pemimpin koalisi Yunani, tidak sengaja membunuh rusa suci milik Artemis. Sebagai balasan, Artemis mengirim badai, memaksa Agamemmon mengorbankan puterinya, Iphigenia, supaya angin kencang itu berhenti. Dalam The Killing of a Sacred Deer, keluarga ahli bedah berjulukan Steven (Colin Farrell) lumpuh dan bakal mati mengenaskan kecuali ia bersedia membunuh satu dari mereka. Kelalaian ketika operasi yang mengakibatkan simpulan hidup pasien jadi penyebab "kutukan". Martin (Barry Keoghan sebagai tokoh paling mengerikan tahun ini), putera si pasien, mewakili tugas Artemis. Seperti biasa, abjad ciptaan Lanthimos bicara dalam nada datar, membangun suasana yang tambah mengerikan seiring tirai dongeng tersingkap. Belum lagi ditambah iringan musik menyayat. Metode itu turut berfungsi memaparkan soal "topeng". Semanis apapun lip service diucapkan karakternya, tiada verbal tampak. Sebaliknya, mereka bernyawa kala meluapkan kejujuran, walau teramat jelek dan kejam. Di tangan Lanthimos, konflik batin mendorong kesan hilangnya kemanusiaan baik secara fisik maupun mental, menghasilkan setumpuk pemandangan tidak nyaman. Ironisnya, justru ketika itu wajah orisinil insan terungkap. (4/5)

Brigsby Bear (2017)
Brigsby Bear bicara mengenai pengaruh budaya populer, bahkan menyertakan Mark Hamill selaku ikon geekdom dalam penampilan singkat yang membuat para penggemar berharap ia lebih banyak memamerkan bakat voice acting-nya. Protagonisnya yaitu James (Kyle Mooney), seorang geek yang terobsesi pada jadwal anak perihal beruang satria semesta berjudul Brigsby Bear Adventures. Beda dengan Napoleon Dynamite misalnya, Mooney yang turut menulis naskah bersama Kevin Costello membuat sosok geek yang "toleran", mau beradaptasi, menyentuh hal di luar obsesinya, bersedia terlibat interaksi sosial, sehingga gampang disukai. Geekiness dalam Brigsby Bear bukan perilaku alienasi, melainkan kepolosan. Ada twist di awal yang takkan saya ungkap, pada dasarnya James mendapati jadwal favoritnya berhenti diproduksi, kemudian tetapkan membuatnya sendiri. Lubang terkait budi maupun gosip psikologis bertebaran seiring proses James melahirkan mahakarya, namun termaafkan berkat usungan semangat positifnya. Berpesan soal berdamai dengan masa kemudian untuk memulai awal baru, iringan piano anggun gubahan David Wingo melengkapi kehangatan tutur filmnya. (4/5)

Captain Underpants: The First Epic Movie (2017)
"Normal" bukan kata yang cocok diperlukan dari pembiasaan novel anak yang mempunyai judul-judul menyerupai The Sensational Saga of Sir Stinks-A-Lot atau The Attack of the Talking Toilets. Itu sebabnya tak perlu kita memusingkan bagaimana mainan hadiah sereal bisa membuat dua bocah usil, George (Kevin Hart) dan Harold (Thomas Middleditch), menghipnotis kepala sekolah mereka yang galak, Mr. Krupp (Ed Helms), menjadi Captain Underpants, satria super dari komik buatan keduanya. Tapi, jangankan kekuatan super, Captain Underpants tidak punya kostum kecuali celana dalam dan jubah berbahan dasar gorden. Professor Poopypants (Nick Kroll), dengan rencana menghapus tawa yaitu sang penjahat, pun Melvin (Jordan Peele) si kutu buku penjilat tanpa selera humor. Tapi musuh sejati filmnya yaitu kekakuan pengekang hak belum dewasa bersenang-senang. Perlawanan penuh kreativitas hadir kala sutradara David Soren mendobrak teladan normatif, mencampur aduk gaya animasi (komik strip, muppet, hingga flip-o-rama) sebagaimana Harold gemar seenaknya menyertakan lumba-lumba dalam komik. Amat kaya visualnya, sukar dipercaya film ini merupakan animasi komputer produksi DreamWorks dengan bujet terendah ($38 juta). Captain Underpants: The First Epic Movie dengan dominasi fart jokes dan celana dalam titular character-nya jelas tak sebodoh tampak luarnya. (4/5)

Sabtu, 15 Desember 2018

Jumanji: Welcome To The Jungle (2017)

Banyak film berbasis video game menutup mata akan gameplay sumber materinya sehingga gagal menghasilkan pengalaman yang sama. Sebagai pembiasaan aktivitas menyenangkan, mereka bersikap terlalu serius. Seperti kita tahu, Jumanji: Welcome to the Jungle adalah sekuel Jumanji (1995) yang diangkat dari buku anak buatan Chris Van Allsburg. Tapi jikalau timbul pertanyaan "film apa yang menjadikan kesan serupa bermain video game?", inilah jawabannya. Gamers bakal tertawa sambil mengangguk paham mendapati bermacam-macam referensinya, penonton umum pun takkan terasing dan tersesat, sementara keempat tokoh utamanya tersesat di suatu dunia asing. 

Dunia itu berada dalam video game. Ya, Jumanji yang 22 tahun kemudian berbentuk papan permainan sekarang ialah Nintendo 90-an. Jangan tanya bagaimana. Anggap saja keajaiban. Keajaiban serupa turut mengubah Spencer, Bethany, Fridge, dan Martha, dari kuartet siswa Sekolah Menengan Atas bermasalah menjadi tokoh video game. Ini membahagiakan bagi Spencer, yang mempunyai otot besar sebagai Dr. Smolder Bravestone (Dwayne Johnson) atau Martha sebagai Ruby Roundhouse (Karen Gillan) yang atletis pula ahli langgar sambil menari. Sebaliknya, Fridge dibentuk kesal akhir perawakan tinggi tegapnya mengkerut ketika menempati tubuh Moose Finbar (Kevin Hart).
Setidaknya penderitaan Fridge tidak setara Bethany. Hilang sudah paras manis dan rambut pirang (dan telepon genggam), berganti jenggot lebat dan perut buncit Professor Sheldon Oberon (Jack Black). Melihat Dwayne Johnson kagum pada tubuh kekarnya,  sebagaimana kita para insan biasa kerap rasakan  Kevin Hart heboh mengeluhkan keadaan, hingga ketangguhan bertarung serta kecanggungan Karen Gillan berlagak seksi terang menghibur. Namun Jack Black dengan tingkah "anggun" yang bukan parodi murahan terhadap laki-laki feminin memberi pesona terkuat, bukti bahwa sang pelawak belum habis.

Perjalanan berikutnya sederhana. Keempatnya mesti menyelamatkan dunia Jumanji, menjelajahi hutan, menghadapi serbuan kudanil buas, segerombol badak, hingga ular berbisa. Kemasan agresi dalam penyutradaraan Jake Kasdan (Bad Teacher, Sex Tape) memang menyenangkan walau detail tiap set-piece mudah terlupakan begitu kita meninggalkan bioskop. Menariknya, justru para abjad yang sanggup bertahan usang di ingatan berkat penokohan khas, juga porsi merata, baik momen agresi maupun komedi. Bermain video game perlu anutan taktis, dan mereka berempat mengatakan itu kala menghadapi setumpuk rintangan. 
Jatah nyawa, NPC (Non-Player Character) dengan kemampuan bicara sebatas kode samar kolam sandi, merupakan segelintir cara Jumanji: Welcome to the Jungle bersenang-senang memakai ciri video game. Tidak muluk pula usungan pesannya, sekedar "we can make new friends by playing multiplayer video game", yang mana kerap terjadi di keseharian kita. Kisah persahabatan (berbumbu romansa) ditangani dengan baik, membuat epilog hangat meski tidak mencapai level emosional setinggi reuni Alan dan Sarah di film pertama.

Jumanji: Welcome to the Jungle memilih menekan nostalgia secukupnya, hanya secuil rujukan berupa nama dua tokoh, termasuk versi lain Van Pelt (Bobby Cannavale) selaku antagonis. Tidak ibarat pendahulunya, Jumanji: Welcome to the Jungle takkan meraih status tontonan keluarga klasik, apalagi di tengah seringnya keterlibatan Dwayne Johnson pada suguhan agresi petualangan. Pun empat bulan lagi, kita segera melihatnya memerankan action hero, bertarung melawan hewan-hewan liar di tengah hutan belantara (sebelum berlanjut ke sentra kota) sambil mengenakan kemeja berwarna abu-abu yang sama dalam Rampage. But this is fun and that should be enough.

Susah Sinyal (2017)

Apakah Ernest Prakasa kelelahan? Atau ia belum menemukan formula mengolah dongeng di luar sentilan kultur Cina yang kali ini hanya muncul sekelebat sebagai balutan humor sesaat? Masih memakai perpaduan drama keluarga dan komedi "acak" serupa Ngenest dan Cek Toko Sebelah, kedua unsur tersebut sesekali tersampaikan, namun tak jarang luput dari sasaran, kurang mulus pula dikawinkan. Koneksi dengan penonton timbul tenggelam, kadang lancar, kadang terganggu. Sepertinya film ini tengah mengalami susah sinyal. 

Seperti kebanyakan drama serupa, kekerabatan berjarak antara orang bau tanah dan anak film ini disebabkan urusan pekerjaan. Ellen (Adinia Wirasti), pengacara sukses sekaligus ibu tunggal, jarang meluangkan waktu bersama puterinya, Kiara (Aurora Ribero), yang lebih terikat dengan kehidupan media umum dan sang nenek, Agatha (Niniek L Karim). Di suatu malam, sepulang kerja, Ellen berusaha terlibat pembicaraan ihwal film favorit Kiara, Moana, tapi justru menyebut Lilo & Stitch. Nenekmu lebih tahu film yang kau cintai daripada ibumu, yang notabene jarang memberi perhatian. Tentu menyakitkan. 
Alhasil, masuk akal Kiara amat terpukul ketika nenek meninggal. Mengetahui itu, Ellen mengabulkan harapan Kiara berlibur ke Sumba, sembari berharap menemukan sinyal yang terputus di antara mereka. Tapi liburan ke daerah di mana Asri Welas, Arie Kriting, Abdur Arsyad, Ge Pamungkas, hingga Chew Kin Wah yang menikahi Selfi KDI berkumpul, terang takkan berlangsung normal. Ernest menyediakan panggung melucu seliar mungkin. Asri yang lebih kalem tetap mengocok perut kala memperagakan capoeira, pun Ge sebagai tokoh penuh stress berat yang memfasilitasi gaya ekspresifnya. 

Keliaran komedi, yang acap kali tak terkait alur utama, berhasil sebagai bumbu penyedap dalam Cek Toko Sebelah. Susah Sinyal memunculkan kesan berbeda. Menulis naskahnya bersama sang istri, Meira Anastasia, Ernest bagai menabur bumbu terlalu banyak demi menutupi kekurangan di materi pokok, alias alur yang tipis. Kelakar Arie dan Abdur misalnya. Menggelitik, namun seketika kehilangan daya bunuh sewaktu hadir berkepanjangan. Titik tertinggi komedi film ini terletak pada guyonan sekilas dengan kesempurnaan timing, seperti Asri Welas yang cenderung serius sehingga dampaknya berlipat ganda ketika celotehan yang dinanti tiba, atau absurditas Dodit Mulyanto yang mengisi sesuai kebutuhan, tak dieksploitasi.
Ellen berharap perjalanan ke Sumba merekatkan hubungannya dengan Kiara. Kita menghabiskan sepertiga durasi di sana, melewati aneka macam peristiwa, termasuk ketertarikan Kiara pada karyawan hotel berjulukan Abe (Refal Hady), sayangnya itu semua bukan quality time. Terlampau sering distraksi hadir, keduanya telah menemukan kembali sinyal yang terputus sebelum penonton sempat direnggut oleh goresan yang terjadi. Film ini membawa karakternya ke Sumba, kemudian seolah resah mesti berbuat apa pada mereka. Aspek teknis pun gagal membantu, baik pilihan shot ala kadarnya (Ernest pernah melahirkan gambar luar biasa besar lengan berkuasa berupa Chew Kin Wah bersandar di tiang toko kosong dalam Cek Toko Sebelah) maupun transisi bernafsu musik selaku cue emosi. 

Untungnya Susah Sinyal punya Adinia Wirasti, seorang aktris langka yang mampu menyulap dialog kasual jadi menarik. Bersama debut memikat Aurora Ribero dalam gaya sinis yang mengakibatkan ketakutan Ellen mendekatinya terasa masuk akal, Adinia menghembuskan nyawa, menghindarkan filmnya dari kehampaan total. Susah Sinyal is a step back. Tapi bukan kemunduran jauh, apalagi suguhan buruk. Ernest selalu belajar, dan itu menciptakan iman saya padanya tidak luntur. 

Jumat, 14 Desember 2018

Pitch Perfect 3 (2017)

Pitch Perfect 3 ibarat kembalinya sebuah band yang pernah berjaya, namun secara setengah hati, diisi album gres tanpa bahan memadahi, pula tur ala kadarnya yang semata bersifat obligasi. It's all about money with no energy and creaticity. Ironisnya, hal yang seakan-akan dialami The Barden Bellas. Selepas gagal beradaptasi dalam realita selepas universitas, mereka bereuni, mencoba lagi peruntungan di panggung hanya untuk mendapati kejayaan masa kemudian sulit diulangi. Inilah ketika realita (secara kebetulan) mengimitasi karya, sayangnya dalam konteks negatif.

Jajaran cast sama, skenario pun masih dikerjakan oleh Kay Cannon dan Mike White, tapi dingklik sutradara sekarang ditempati Trish Sie. Harapannya, pengalaman menggarap Step Up: All In (2014) menghasilkan sekuen musikal sedap. Namun pesona Bellas lenyap ketika Sie membungkus performa mereka bagai siaran ajang pencarian talenta menyanyi di televisi. Pun kelompok pesaing, Evermoist, grup band yang terdiri atas empat wanita, ikut melempem. Bergaya serupa rockstar, mereka membawakan pop-rock generik dengan agresi panggung medioker. 
Sepertinya daya kreasi Pitch Perfect yang lima tahun kemudian mengakibatkan gelas plastik alat musik keren menguap bersama kesuksesan The Bellas. Beca (Anna Kendrick) yaitu produser bagi lagu anyir milik rapper keras kepala, Fat Amy (Rebel Wilson) menganggur sambil sesekali memparodikan Amy Winehouse di tengah kota, sementara anggota lain tidak lebih beruntung. Berniat meraih kejayaan lagi, The Bellas nekat ambil bab pada tur dunia guna mengibur militer Amerika Serikat yang diselenggarakan oleh United Service Organization (USO). 

Realisasi terhadap realita merupakan tema utama, yang mana lebih sampaumur dibanding kedua pendahulunya. Bagaimana proses The Bellas mencapai titik tersebut? Itu yang semestinya dijawab alih-alih sibuk mengotak-atik unsur sampingan tak perlu. Momen pembukanya mencuatkan pertanyaan: Apa esensi ledakan ala suguhan adu dalam film seputar grup akapela? Pasca konteksnya dipaparkan pun, fungsinya  selain menghabiskan bujet nyaris tiga kali lipat film pertama  tetap jadi pertanyaan. Dan pertemuan Fat Amy dengan ayahnya (John Lithgow) hanya ada untuk membuka jalan menyelipkan adegan bombastis di atas. 
Sebagai film musik dengan konflik kompetisi musik, mestinya intensitas muncul alasannya yaitu kompetisi tersebut, perseteruan antar peserta, usaha tokoh utama mencapai tujuan (entah soal mengejar kemenangan atau penerimaan diri), tidak perlu tetek bengek penculikan berbumbu ledakan. That's cheap. Anna Kendrick dan Hailee Steinfeld sebagai Emily masih mempesona di atas panggung, tapi story arc Beca dangkal dan membosankan, sedangkan Emily lebih parah, sebatas penggembira. Fat Amy selaku "sumber derita" bisa memancing tawa, demikian juga absurditas Lilly (Hana Mae Lee), namun Pitch Perfect 3, dengan sekelompok protagonis perempuan berbeda kepribadian dan latar seharusnya lebih berwarna. Sayang, naskahnya kelabakan membagi fokus. 

Pertanyaan terpenting: Apakah Pitch Perfect 3 menyenangkan? Komedinya cukup efektif mengocok perut. Mayoritas nomor musikalnya kurang berkesan, walau tatkala The Bellas membawakan Toxic, sulit rasanya menahan badan ikut bergoyang biarpun sedikit. Ya, dalam film di mana para protagonis disindir sebagai grup karaoke alasannya yaitu cuma menyanyikan karya orang lain, cover bagi lagu rilisan awal 2000-an justru jadi yang paling memorable. Pitch Perfect 3 memang reuni setengah hati. The Bellas need another new cups if they want to comeback (again). 

City Of Ghosts / Victoria & Abdul / Marjorie Prime

Anda masih menganggap enteng bahaya ISIS? Saksikan City of Ghosts, dan renungkan betapa Suriah dibentuk kolam neraka oleh organisasi berkedok agama tersebut. Di cuilan dunia lain, Victoria & Abdul yang mengantar Judi Dench meraih nominasi Golden Globe untuk Best Actress - Motion Picture Comedy or Musical, justru merayakan kolonialisme berkedok cerita persahabatan beda kasta, ras, dan agama. Sementara Marjorie Prime mengatakan bahwa tidak semua science-fiction memandang artificial intelligence yang makin mendekati insan sebagai suatu ancaman. 

City of Ghosts (2017)
Raqqa Is Being Slaughtered Silently (RBSS). Begitu nama pergerakan citizen journalism yang mewartakan kekejaman ISIS di Raqqa, Suriah, kepada dunia meski nyawa jadi taruhan dan mesti hidup bersembunyi. Nama yang gamblang, menusuk tanpa basa-basi, segamblang footage yang disediakan bagi Matthew Heineman (Cartel Land) guna merangkai dokumenternya. Pembunuhan jadi pertunjukan, kepala insan dipertontonkan, belum dewasa dipaksa "berjihad". City of Ghosts mengerikan bukan saja lantaran pemandangan kejam. Horor sebenarnya hadir di benak kita. Melihat video propaganda kelas Hollywood milik ISIS, timbul pertanyaan, "seberapa berpengaruh mereka?". Dan menyerupai diutarakan satu narasumber, ISIS yakni gagasan, sanggup tumbuh cepat di mana saja, termasuk Indonesia. City of Ghosts menyadarkan akan fakta itu. Di satu titik, beberapa anggota RBSS mengungsi ke Jerman hanya untuk mendapatkan cemoohan lain dari para anti-imigran, memperluas cakupan film menuju penindasan oleh hegemoni kaum yang merasa superior. Mengingat dominan rekaman berasal dari RBSS, Heineman harus menyesuaikan, sulit berkreasi demi totalitas dampak emosi. Pun terbatasnya sumber (ISIS menutup jalan masuk isu Raqqa) serta alasan keamanan cenderung menghadirkan tanya ketimbang jawaban. Seusai menonton, saya menemukan lebih banyak cerita luar biasa di internet. Tapi apakah kegiatan itu bakal terjadi tanpa City of Ghosts? Mungkin tidak. Film ini membuka mata saya. (4/5)

Victoria & Abdul (2017)
Bayangkan film soal masa kolonialisme Hindia Belanda di mana orang Indonesia diminta mempersembahkan penghargaan bagi Wilhelmina, berinisiatif mencium kaki sang Ratu, erat dengannya, menentukan meninggalkan tanah air dan hidup glamor di Kerajaan Belanda. Tidak peduli betapa piawai Stephen Frears (Florence Foster Jenkins, Philomena) merangkai momen jenaka berbentuk olok-olok pada insan haus kuasa, pemujaan Abdul (Ali Fazal) terhadap Ratu Victoria (Judi Dench) yakni pemandangan mengganggu. Victoria pun menyukai Abdul, bahkan menjadikannya Munshi (Guru) sampai seisi Istana kocar-kacir. Victoria & Abdul punya niat baik menuturkan keberhasilan korban rasisme (Abdul seorang muslim India) menggoyang kenyamanan penguasa, tapi naskah yang dangkal gagal menekankan intensi Abdul selain impian memperbaiki hidup, mengesankan beliau hanya social climber biasa. Ada perjuangan memanusiakan Victoria sebagai perempuan bau tanah kesepian sekaligus humanis yang memperjuangkan hak minoritas. Lucu, alasannya yakni beliau yang mengawali nyaris 100 tahun pendudukan Inggris di India. Setidaknya Judi Dench luar biasa melakoni dua sisi Victoria: pimpinan sinis nan intimidatif di depan bawahan, perempuan ramah tapi ringkih yang membutuhkan mitra di depan Abdul. Victoria & Abdul bagai aristokrat yang coba merakyat, mengunjungi perkampungan sambil melambaikan tangan dari dalam kendaraan beroda empat mewah. (2/5)

Marjorie Prime (2017)
Di suatu versi masa depan, orang mati sanggup diwujudkan kembali sebagai kecerdasan buatan berbentuk hologram yang disebut "Prime". Marjorie (Lois Smith), perempuan bau tanah penderita demensia menghabiskan hari mengobrol bersama Prime yang mempunyai wajah mendiang suaminya, Walter (Jon Hamm) kala muda. Memori Walter Prime (demikian ia dipanggil) berasal dari isu yang disediakan Marjorie, pula puterinya, Tess (Geena Davis) dan sang suami, Jon (Tim Robbins). Mereka bicara soal kenangan, baik yang indah, maupun yang menjadi indah lantaran ditutupinya fakta-fakta menyedihkan. Mengadaptasi naskah teater berjudul sama, sutradara sekaligus penulis naskah Michael Almereyda menyusun Marjorie Prime dengan pembicaraan lirih selaku perenungan mengenai memori. Almereyda menebar magis melalui formasi dialog, yang bagi karakternya bagai terapi. Marjorie berusaha mengumpulkan keping-keping ingatan yang tersisa sedangkan Tess ingin memperbaiki hubungan dengan ibunya. Para Prime mungkin bukan insan utuh, tapi menolong insan menemukan keutuhan. Ditutup pembicaraan menyihir, Marjorie Prime menampilkan kondisi kala Manusia dan A.I. saling mengisi alih-alih mengancam. (4.5/5)

Call Me By Your Name / I, Tonya / Lady Bird

Ketiga judul di bawah berpeluang meraih kejayaan pada ekspresi dominan penghargaan 2018. Dari Call Me By Your Name, pembiasaan novel berjudul sama karya André Aciman yang juga babak pamungkas trilogi tematik Desire milik sutradara Luca Guadagnino (I Am Love, A Bigger Splash), I, Tonya yang mengangkat dongeng hidup fenomenal nan kontroversial Tonya Harding sang juara seluncur indah, hingga Lady Bird yang melebarkan sayap si "Ratu Indie" Greta Gerwig ke ranah penyutradaraan sesudah menciptakan Nights and Weekends bersama Joe Swanberg pada tahun 2008.

Call Me By Your Name (2017)
Kredit pembuka berisi foto-foto Classical sculpture, musik klasik, sinematografi manis Sayombhu Mukdeeprom yang menangkap ekspresi dominan panas di perkampungan Italia cuilan Utara berdesain arsitektur cantik. Call Me By Your Name ialah romantika yang memperhatikan keindahan estetika, sama indahnya dengan cinta sampaumur 17 tahun berjulukan Elio (Timothée Chalamet) terhadap Oliver (Armie Hammer), laki-laki berusia jauh lebih bau tanah yang singgah sejenak guna membantu riset sang ayah. Benar tema LGBT diusung, tapi ini merupakan sajian universal soal tumbuh kembang dan kegugupan mendapati cinta pertama berseliweran dalam keseharian tanpa ada kepastian. Alur bergulir perlahan, memberi lebih banyak unsur untuk digali selain percintaan, juga kesempatan mengamati detail tiap fase yang Elio lalui. Chalamet penuh antusiasme, bergerak lincah layaknya bocah kegirangan yang coba mencuri perhatian si pujaan hati, pun mempunyai kepekaan melakoni momen emosional. Jangankan nominasi, memenangkan Oscar pun layak. Sedangkan Armie Hammer dengan karisma, badan tegap, dan bunyi berat tepat sebagai sosok cinta pertama. Keduanya beradu manis, bertukar kalimat romantis dari naskah James Ivory ("Call me by your name and I'll call you by mine" is the best line), dibalut kepiawaian Guadagnino menyusun sensualitas. (4.5/5)

I, Tonya (2017)
Tonya Harding (Margot Robbie) merupakan perempuan fantastis (dan gila) dengan perjalanan hidup fantastis (dan gila). Metode tradisional kurang pas merangkum riwayatnya. Craig Gillespie (Lars and the Real Girl) menyadari itu, memadukan wawancara palsu ala mockumentary, komedi hitam pekat, serta gerak kamera dinamis kala menangkap agresi Tonya di arena seluncur es. Kita digiring menuju kekaguman serupa mereka yang dulu melihat pribadi performa Tonya. Robbie, yang berlatih selama lima bulan termasuk sehari jelang pernikahan, berayun penuh percaya diri seolah tengah menggenggam dunia tanpa peduli publik berpikiran sebaliknya. Ekspresi seusai Triple Axel (gerakan super sulit yang dulu hanya sanggup dilakukan Tonya) jadi puncak emosi yang bakal dikenang lama. Tonya memang gila, namun skenario Steven Rogers lebih menaruh atensi pada kegilaan publik akan pencitraan. Alhasil, bersalah atau tidaknya Tonya dalam penyerangan terhadap sang kompetitor, Nancy Kerrigan, tak lagi penting. Apalagi Rogers menonjolkan ambiguitas antara perspektif Tonya dan suaminya, Jeff (Sebastian Stan). Pun sisi liar protagonis dijabarkan selaku pengaruh perlakuan garang ibunya, LaVona (Allison Janney), yang dialami semenjak kecil. Apakah sejatinya LaVona menyayangi sang puteri? Performa eksentrik Janney menjaga kompleksitas tersebut tetap melayang tak pasti. Satu hal pasti, Tonya addalah korban obsesi Amerika atas kesempurnaan "American Sweetheart" dan I, Tonya merupakan film paling bertenaga sepanjang 2017. (4.5/5)

Lady Bird (2017)
Sebuah ode untuk rumah, kenangan, dan orang-orang yang kita ditinggalkan ketika kita pergi melanglang buana menggapai mimpi. Lady Bird (Saoirse Ronan), siswi sekolah Nasrani di Sacramento, ingin berkuliah di New York, tapi himpitan finansial ditambah ketakutan sang ibu, Marion (Laurie Metcalf), akan ancaman lingkungan kota besar, menghalangi realisasi mimpinya. Gerwig menyajikan observasi soal kontradiksi ketimbang permusuhan. Marion bukan antagonis yang mengekang impian Lady Bird. Naskah buatan Gerwig menyediakan alasan yang mengakibatkan perilaku keras Marion sangat sanggup dipahami. Sementara para pengajar sekolah Nasrani dilukiskan sebagai sosok religius, namun tidak kolot. Suster Sarah Joan (Lois Smith) misalnya, justru tertawa kala jadi korban keisengan Lady Bird. Daripada menghakimi, Gerwig berlaku bijak, mengajak memahami semua sisi. Penyutradaraannya pun berenergi, kerap mendadak berganti tone, berprogresi cepat layaknya burung yang terbang lincah dari dahan ke dahan. Beberapa momen tampil sekilas kolam denah komedi, untuk kemudian membentuk keping-keping puzzle yang menyusun lengkap tiap sendi kehidupan tokoh utama (plus kehidupan sampaumur tamat secara umum). Ronan turut melaju bersama pengarahan dinamis Gerwig, memerankan aksara yang paling menunjang potensinya, membawa Lady Bird mengalahkan rentetan ketidakpastian hingga datang di cabang pohon yang diinginkan. (4/5)

Kamis, 13 Desember 2018

Battle Of The Sexes/The Disaster Artist/The Meyerowitz Stories

Tiga film di bawah sama-sama menyoroti mereka yang terpinggirkan. Di Battle of the Sexes, para petenis perempuan dipandang sebelah mata, seolah tidak sama berharganya dengan petenis pria, The Disaster Artist memiliki Tommy Wiseau yang menjadi target empuk olok-olok tanggapan The Room yang melegenda, sementara The Meyerowitz Stories (New and Selected) bertutur soal seniman yang terlupakan, juga seorang laki-laki pengangguran yang merasa sang ayah lebih mencintai kakaknya.

Battle of the Sexes (2017)
Film biografi bertema olahraga biasanya mengedepankan usaha tokohnya memenangkan pertandingan dengan tujuan final merengkuh gelar juara. Para petenis perempuan di Battle of the Sexes pun berjuang untuk menang. Bukan demi piala berkilau atau pundi-pundi uang, melainkan kesetaraan gender. Petenis perempuan nomor satu pada 1973, Billie Jean King (Emma Stone), menolak begitu saja mendapatkan fakta perempuan hanya dibayar seperdelapan dari pria. Bersama beberapa  petenis perempuan lain, ia pun nekat membentuk WTA (Women’s Tennis Association) dengan dana seadanya dan menggelar tur sendiri. Stone, selain bersenjatakan senyum yang punya jangkauan verbal luas (dari sarkasme hingga kebahagiaan berbunga-bunga), juga meyakinkan dalam bergerak di atas lapangan. Caranya merayakan poin, berjalan sambil bersiasat, memasang kuda-kuda, semua menampakkan pengalaman petenis unggulan. Pun perihal akurasi, duo sutradara, Jonathan Dayton dan Valerie Faris (Little Miss Sunshine, Ruby Sparks) bisa mereka ulang detail (pernikahan di dingklik penonton, spanduk yang bertebaran) event legendaris Battle of the Sexes, kala Billie Jean bertanding melawan Larry Riggs (Steve Carell), mantan petenis top yang ingin menandakan bahwa laki-laki lebih superior dari wanita. Sebelum third act, kita urung dipamerkan seberapa hebat kemampuan Billie Jean, ketika Battle of the Sexes lebih tertarik menyoroti affair-nya dengan sang penata rambut, Marilyn Barnett (Andrea Riseborough). Namun mungkin itulah poinnya. Battle of the Sexes yaitu film dalam lingkup tenis yang tak mengutamakan tenis, melainkan usaha kaum marginal, meski usaha cinta Billie Jean tampil tak sesimpatik seharusnya. (3.5/5)

The Disaster Artist (2017)
Apa yang ada di kepala Tommy Wiseau dikala menciptakan The Room? Kenapa banyak momen acak tak berkesinambungan? Kenapa dialognya aneh? Kenapa akting pemainnya amat buruk? Kenapa menggunakan CGI alih-alih mengambil gambar di atap gedung sungguhan. The Disaster Artist memberi pencerahan mengenai setumpuk tanya di atas. Bukan jawaban pasti. Sebab dari mana Wiseau berasal, mengapa kekayaannya seolah tanpa ujung, dan berapa usia pastinya tetaplah misteri. Namun naskah buatan Scott Neustadter dan Michael H. Weber yang mengadaptasi buku non-fiksi berjudul sama karya Greg Sestero dan Tom Bissell piawai mengaitkan deretan kecacatan Wiseau (James Franco) jadi kesatuan cerita seputar mimpi dan persahabatan. Kita diajak melihat bahwa seluruh keputusan janggal Wiseau sejatinya bentuk solidaritas juga ungkapan sayang terhadap sahabat. Setidanya itu yang Greg Sestero (Dave Franco) percaya. The Disaster Artist bukan saja menjawab pertanyaan-pertanyaan wacana The Room, pula berpotensi mengubah persepsi. Dari salah satu tontonan terburuk sepanjang masa yang layak ditertawakan jadi karya dengan ketulusan dan passion selaku pondasi. Pancaran kegetiran di wajah Franco kala penonton tertawa terbahak-bahak di tengah pemutaran perdana akan menusuk hati, apalagi jikalau anda selama ini kerap menimbulkan Wiseau materi olok-olok. Franco sendiri tak hanya menggandakan gerak dan tutur Wiseau yang ganjil, tetapi total meresapi, kemudian sepenuhnya bertransformasi. Sebagai sutradara, keberhasilan Franco merekonstruksi ulang momen-momen ikonik The Room sampai ke detail terkecil patut diacungi jempol. Baik selaku studi karakter, biografi, maupun komedi kental kebodohan tingkah tokohnya, The Disaster Artist tampil unik nan efektif. (4.5/5)

The Meyerowitz Stories (2017)
Sebagai Danny Meyerowitz, Adam Sandler berkumis, berjalan pincang, tidak mengenakan kaus oblong andalannya. Singkatnya, ia meninggalkan sosok laki-laki kekanakan yang menempel berpengaruh dan mencirikan filmnya.  Danny yaitu putera Harold Meyerowitz (Dustin Hoffman), mantan pematung tersohor yang enggan mendapatkan kenyataan bahwa dirinya makin terlupakan. Total  Harold mempunyai tiga anak dari tiga komitmen nikah berbeda (kini ia tengah menjalani komitmen nikah keempat). Selain Danny ada Jean (Elizabeth Marvel), satu-satunya anak perempuan sekaligus anak paling tertutup, juga Matthew (Ben Stiller), putera kesayangan Harold yang sukses sebagai penasihat finansial. Merupakan kenikmatan melihat Sandler dan Stiller beradu memamerkan performa sensitif yang turut menyelipkan sisi komedik. Tampil ketiga kalinya di film Noah Baumbach, Stiller tampak telah terbiasa, gampang melakoni kecanggungan di sela-sela kegetiran duduk kasus keluarga. Namun sumber emosi terbesar tetap Sandler.  Melalui akting jujur nan hangat, dibuatnya paparan konflik ayah-anak yang ada terasa bernilai. Lewat senyum serta tatapan yang sulit ditebak, Sandler memberi kompleksitas yang tak kalah rumit dibanding problematika utama yang diangkat, yakni soal keluarga modern. Keluarga Meyerowitz tersusun atas satu ayah, banyak anak, banyak ibu, menghasilkan kepribadian, kisah, pula permasalahan beragam. The Meyerowitz Stories (New and Selected) menuturkan proses pemahaman tiga bersaudara Meyerowitz , bahwa rupanya mereka tidak serenggang dan seberbeda itu. Ingatan rancu Harold mengenai siapa yang sewaktu kecil dulu kerap menemaninya berkarya jadi bukti. Like most of Baumbach’s movies, The Meyerowitz Stories finds its sweetness in a quirkiness. (4/5)

The History of How to Get Bit Coin Refuted

The History of How to Get Bit Coin Refuted - For Limit, you are just setting a purchasing order or bidding the sum of Bitcoin you wish to b...