Ketiga judul di bawah berpeluang meraih kejayaan pada ekspresi dominan penghargaan 2018. Dari Call Me By Your Name, pembiasaan novel berjudul sama karya André Aciman yang juga babak pamungkas trilogi tematik Desire milik sutradara Luca Guadagnino (I Am Love, A Bigger Splash), I, Tonya yang mengangkat dongeng hidup fenomenal nan kontroversial Tonya Harding sang juara seluncur indah, hingga Lady Bird yang melebarkan sayap si "Ratu Indie" Greta Gerwig ke ranah penyutradaraan sesudah menciptakan Nights and Weekends bersama Joe Swanberg pada tahun 2008.
Call Me By Your Name (2017)
Kredit pembuka berisi foto-foto Classical sculpture, musik klasik, sinematografi manis Sayombhu Mukdeeprom yang menangkap ekspresi dominan panas di perkampungan Italia cuilan Utara berdesain arsitektur cantik. Call Me By Your Name ialah romantika yang memperhatikan keindahan estetika, sama indahnya dengan cinta sampaumur 17 tahun berjulukan Elio (Timothée Chalamet) terhadap Oliver (Armie Hammer), laki-laki berusia jauh lebih bau tanah yang singgah sejenak guna membantu riset sang ayah. Benar tema LGBT diusung, tapi ini merupakan sajian universal soal tumbuh kembang dan kegugupan mendapati cinta pertama berseliweran dalam keseharian tanpa ada kepastian. Alur bergulir perlahan, memberi lebih banyak unsur untuk digali selain percintaan, juga kesempatan mengamati detail tiap fase yang Elio lalui. Chalamet penuh antusiasme, bergerak lincah layaknya bocah kegirangan yang coba mencuri perhatian si pujaan hati, pun mempunyai kepekaan melakoni momen emosional. Jangankan nominasi, memenangkan Oscar pun layak. Sedangkan Armie Hammer dengan karisma, badan tegap, dan bunyi berat tepat sebagai sosok cinta pertama. Keduanya beradu manis, bertukar kalimat romantis dari naskah James Ivory ("Call me by your name and I'll call you by mine" is the best line), dibalut kepiawaian Guadagnino menyusun sensualitas. (4.5/5)
I, Tonya (2017)
Tonya Harding (Margot Robbie) merupakan perempuan fantastis (dan gila) dengan perjalanan hidup fantastis (dan gila). Metode tradisional kurang pas merangkum riwayatnya. Craig Gillespie (Lars and the Real Girl) menyadari itu, memadukan wawancara palsu ala mockumentary, komedi hitam pekat, serta gerak kamera dinamis kala menangkap agresi Tonya di arena seluncur es. Kita digiring menuju kekaguman serupa mereka yang dulu melihat pribadi performa Tonya. Robbie, yang berlatih selama lima bulan termasuk sehari jelang pernikahan, berayun penuh percaya diri seolah tengah menggenggam dunia tanpa peduli publik berpikiran sebaliknya. Ekspresi seusai Triple Axel (gerakan super sulit yang dulu hanya sanggup dilakukan Tonya) jadi puncak emosi yang bakal dikenang lama. Tonya memang gila, namun skenario Steven Rogers lebih menaruh atensi pada kegilaan publik akan pencitraan. Alhasil, bersalah atau tidaknya Tonya dalam penyerangan terhadap sang kompetitor, Nancy Kerrigan, tak lagi penting. Apalagi Rogers menonjolkan ambiguitas antara perspektif Tonya dan suaminya, Jeff (Sebastian Stan). Pun sisi liar protagonis dijabarkan selaku pengaruh perlakuan garang ibunya, LaVona (Allison Janney), yang dialami semenjak kecil. Apakah sejatinya LaVona menyayangi sang puteri? Performa eksentrik Janney menjaga kompleksitas tersebut tetap melayang tak pasti. Satu hal pasti, Tonya addalah korban obsesi Amerika atas kesempurnaan "American Sweetheart" dan I, Tonya merupakan film paling bertenaga sepanjang 2017. (4.5/5)
Lady Bird (2017)
Sebuah ode untuk rumah, kenangan, dan orang-orang yang kita ditinggalkan ketika kita pergi melanglang buana menggapai mimpi. Lady Bird (Saoirse Ronan), siswi sekolah Nasrani di Sacramento, ingin berkuliah di New York, tapi himpitan finansial ditambah ketakutan sang ibu, Marion (Laurie Metcalf), akan ancaman lingkungan kota besar, menghalangi realisasi mimpinya. Gerwig menyajikan observasi soal kontradiksi ketimbang permusuhan. Marion bukan antagonis yang mengekang impian Lady Bird. Naskah buatan Gerwig menyediakan alasan yang mengakibatkan perilaku keras Marion sangat sanggup dipahami. Sementara para pengajar sekolah Nasrani dilukiskan sebagai sosok religius, namun tidak kolot. Suster Sarah Joan (Lois Smith) misalnya, justru tertawa kala jadi korban keisengan Lady Bird. Daripada menghakimi, Gerwig berlaku bijak, mengajak memahami semua sisi. Penyutradaraannya pun berenergi, kerap mendadak berganti tone, berprogresi cepat layaknya burung yang terbang lincah dari dahan ke dahan. Beberapa momen tampil sekilas kolam denah komedi, untuk kemudian membentuk keping-keping puzzle yang menyusun lengkap tiap sendi kehidupan tokoh utama (plus kehidupan sampaumur tamat secara umum). Ronan turut melaju bersama pengarahan dinamis Gerwig, memerankan aksara yang paling menunjang potensinya, membawa Lady Bird mengalahkan rentetan ketidakpastian hingga datang di cabang pohon yang diinginkan. (4/5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar