Tampilkan postingan dengan label John Cena. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label John Cena. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Desember 2018

Daddy's Home 2 (2017)

Komedi sanggup dikatakan baik bila bisa memenuhi tujuan memancing tawa, sebagaimana horor menyulut ketakutan, atau adu memacu adrenalin. Menjadi Istimewa jikalau terdapat adegan (dengan fungsi mendukung tujuan itu) yang terus tertanam di ingatan. Pada Daddy's Home, momen tersebut hadir ketika Brad (Will Ferrell) terjungkal ke tembok akhir gagal mengontrol motor milik Dusty (Mark Wahlberg). Sekuelnya berusaha mengulangi sihir serupa tatkala Brad kelabakan mengendalikan mesin penyedot salju. Konsep menyerupai dengan hasil berbeda lantaran sang sutradara, Sean Anders, sekedar berusaha meniru. Itulah mengapa Daddy's Home 2 bukan suguhan spesial. 

Tapi bukan pula komedi buruk, dan saya pun tergelak menyaksikan situasi abstrak ketika jumlah ayah berlipat ganda. Selaku versi ekstrim dari anak masing-masing, datanglah para kakek; Don (John Lithgow) yang lebih cerewet, konyol, dan norak dibanding Brad, juga Kurt (Mel Gibson) si tua-tua keladi lewat tingkat kekejaman serta sarkasme yang menciptakan Dusty terlihat lembut. Demi nuansa kekeluargaan Natal, mereka bersama istri dan bocah-bocah menentukan berlibur di sebuah resort. Kondisi ini memfasilitasi pemandangan menarik semisal keempat ayah dengan kegilaan berlainan berkumpul di tengah malam, berdebat soal termostat. 
Banyak perdebatan, banyak pertengkaran, yang disebabkan kekonyolan Don dan Brad maupun sinisme Kurt, takkan berujung pembicaraan waras. Anders mengemas segala perbincangan itu bagai peperangan. Perang verbal di mana kalimat yang karakternya lontarkan tak ubahnya berondongan peluru senapan mesin. Bising, cepat, kacau nan tanpa aturan. Enggan memperhatikan timing, formasi punch line di naskah goresan pena Anders dan John Morris gagal mendarat keras pada urat tawa penonton. Walau berkat jajaran pemainnya, rasa kantuk belum hingga menguasai. 

Ferrell tetap pesakitan, seorang anak kecil bertubuh remaja dengan kesialan beruntun, yang semakin ia menderita, semakin penonton terhibur. Sewaktu Wahlberg sebagai Dusty sekarang merupakan tokoh cerdik paling sehat sementara bakat komikal John Cena dibatasi minimnya bahan pendukung, dua kakek sanggup mencuri atensi. Gibson memainkan tugas penuh wibawa sekaligus bermulut pedas menyerupai kerap ia lakoni, hanya saja, sekarang maskulinitas tersebut digunakan untuk pondasi humor yang nyatanya sukses besar. Begitu gampang ia tebang setiap kesempatan. Sedangkan Lithgow, melalui senyum lebar dan mata berbinar yakni yang terbaik. Menggelitik semenjak awal, ia remukkan perasaan hanya dalam satu momentum emosional.  
Secara mengejutkan Daddy's Home 2 mempunyai setumpuk porsi drama, atau setidaknya tuturan serius yang bersembunyi di belakang kedok banyolan-banyolan. Wajar, mengingat bertambahnya jumlah ayah berarti bertambah banyak pula masalah. Terlampau banyak malah, hingga filmnya kesulitan menyediakan penanganan total. Beberapa problematika memperoleh resolusi natural, macam relasi Dusty-Kurt yang bagus namun sederhana. Tapi ada pula yang tertinggal, misalnya ketika perjuangan Kurt menarik perhatian cucu-cucu terlupakan. Terdapat 9 orang anggota keluarga (10 ditambah Roger-nya Cena), dan mereka semua diberi subplot. Berlebihan, meski disertakannya sekelumit pesan mengenai hak perempuan semenjak kecil terasa melegakan. 

Penutup berupa nomor musikal diiringi lagu Do They Know It's Christmas? bak pertunjukan darurat yang tampil lebih mendadak daripada suguhan Bollywood. Konklusi pun terasa ajaib, tapi bukankah Natal memang wacana keajaiaban? Mengusung semangat tersebut, walau dihukum menggunakan jalan yang terkesan malas, Daddy's Home 2 masih suatu komedi yang baik, biarpun takkan hinggap usang di benak para penontonnya. 

Minggu, 16 Desember 2018

Ferdinand (2017)

Karakter Ferdinand dalam buku dongeng anak The Story of Ferdinand adalah banteng cinta tenang berhati lembut. Daripada bertarung melawan matador, ia menentukan menikmati aroma bunga. Di realita yang diselimuti prasangka dan amarah, kepribadian macam itu justru kerap dibenci. Jika dalam buku serta filmnya Ferdinand diasingkan oleh banteng lain, maka dunia kasatmata menjadi saksi buku buatan Munro Leaf ini sempat dihentikan beredar. Terbit kala iklim politik tengah tak kondusif, sembilan bulan jelang Perang Sipil Spanyol melanda dan Hitler sedang berkuasa, bermacam-macam tuduhan dari fasisme, komunisme, hingga sosialisme pun dialamatkan.

Sindiran terhadap Nazi memang tampak pada penokohan tiga kuda: Hans, Klaus, dan Greta yang mempunyai nama sekaligus aksen Jerman, menganggap spesies mereka paling unggul. Tapi intinya, Ferdinand (baik versi buku maupun film) murni soal perdamaian, menjadi diri sendiri, juga bersikap baik tanpa pandang bulu. Barisan pesan yang sanggup diajarkan bagi anak di sela-sela gelak tawa mereka melihat Ferdinand (John Cena) terjebak dalam toko barang pecah belah, atau Maquina si banteng dengan gerak robotik dan bunyi kedipan mata yang terdengar kolam besi beradu (bisa ditebak namanya berasal dari "machina"). Untuk Maquina, tawa aku jauh lebih kencang ketimbang para bocah.
Ferdinand kecil yang kabur dari peternakan banteng demi menghindari hidup penuh kekerasan pasca ayahnya tewas di arena pertarungan, tumbuh besar dalam harmoni bersama Nina (Lily Day) dan ayahnya, dikelilingi bunga-bunga yang jadi benda favorit Ferdinand. Melalui montage singkat kita menyaksikan persahabatan berlandaskan cinta antar-spesies terjalin, walau bagaimana Nina mengetahui nama Ferdinand tak pernah terjawab. Tapi filmnya bergerak cepat, segera mengembalikan Ferdinand ke peternakan akhir suatu kecelakaan berujung kesalahpahaman, urung menyisakan waktu bagi kita memikirkan kejanggalan tersebut.

Meski waktu berlalu, namun kondisi peternakan tetap sama. Valiente (Bobby Cannavale) masih memusuhi, mencela keengganan Ferdinand bertarung, sementara banteng-banteng lain pun bertahan mengusung mimpi meraih kejayaan sebagai lawan tanding matador. Satu-satunya perubahan ialah bertambahnya jumlah binatang yang berjasa meramaikan suasana. Lupe si kambing betina mencuri perhatian berkat suara Kate McKinnon yang tepat mewakili abnormalitas tokohnya, sedangkan trio landak, Una, Dos, Cuatro terampil mencuri benda-benda di sana. Jangan tanyakan keberadaan Tres. Mereka sudah memperingatkan kita.
Dengan huruf sekaya itu, sutradara Carlos Saldanha punya cukup modal merangkai kemeriahan kreatif. Ambil pola adegan dance battle yang bukan cuma perihal kekonyolan tingkah hewan, tapi pemanfaatan ciri masing-masing. Trio kuda dengan gaya elegan, Angus (David Tennant) dan sentuhan Skotlandia miliknya, hingga Maquina yang kembali mengocok perut melalui gerak robotik, membabat habis lagu Watch Me-nya Nick Jonas, memancing gadis kecil yang duduk di sebelah aku ikut menari penuh semangat. Sungguh pemandangan menyenangkan.

Ferdinand memang urung menyoroti ambiguitas sopan santun terkait laga banteng di Spanyol, menentukan pendekatan bersenang-senang menyikapi aspek kulturalnya, menyerupai dipertontonkan pada suatu adegan yang memparodikan parade Running of the Bulls. Tapi bukan masalah. Tidak semua animasi wajib menyusuri jalur kompleks sebagaimana Pixar semoga menjadi bagus. Terlebih saat pelajaran berharga perihal kasih sayang sanggup dipetik oleh penonton anak, sementara kita, orang dewasa, dibentuk merenungkan "siapa monster sesungguhnya?" begitu titik puncak bergulir.

The History of How to Get Bit Coin Refuted

The History of How to Get Bit Coin Refuted - For Limit, you are just setting a purchasing order or bidding the sum of Bitcoin you wish to b...