Tampilkan postingan dengan label Animated. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Animated. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Desember 2018

Ferdinand (2017)

Karakter Ferdinand dalam buku dongeng anak The Story of Ferdinand adalah banteng cinta tenang berhati lembut. Daripada bertarung melawan matador, ia menentukan menikmati aroma bunga. Di realita yang diselimuti prasangka dan amarah, kepribadian macam itu justru kerap dibenci. Jika dalam buku serta filmnya Ferdinand diasingkan oleh banteng lain, maka dunia kasatmata menjadi saksi buku buatan Munro Leaf ini sempat dihentikan beredar. Terbit kala iklim politik tengah tak kondusif, sembilan bulan jelang Perang Sipil Spanyol melanda dan Hitler sedang berkuasa, bermacam-macam tuduhan dari fasisme, komunisme, hingga sosialisme pun dialamatkan.

Sindiran terhadap Nazi memang tampak pada penokohan tiga kuda: Hans, Klaus, dan Greta yang mempunyai nama sekaligus aksen Jerman, menganggap spesies mereka paling unggul. Tapi intinya, Ferdinand (baik versi buku maupun film) murni soal perdamaian, menjadi diri sendiri, juga bersikap baik tanpa pandang bulu. Barisan pesan yang sanggup diajarkan bagi anak di sela-sela gelak tawa mereka melihat Ferdinand (John Cena) terjebak dalam toko barang pecah belah, atau Maquina si banteng dengan gerak robotik dan bunyi kedipan mata yang terdengar kolam besi beradu (bisa ditebak namanya berasal dari "machina"). Untuk Maquina, tawa aku jauh lebih kencang ketimbang para bocah.
Ferdinand kecil yang kabur dari peternakan banteng demi menghindari hidup penuh kekerasan pasca ayahnya tewas di arena pertarungan, tumbuh besar dalam harmoni bersama Nina (Lily Day) dan ayahnya, dikelilingi bunga-bunga yang jadi benda favorit Ferdinand. Melalui montage singkat kita menyaksikan persahabatan berlandaskan cinta antar-spesies terjalin, walau bagaimana Nina mengetahui nama Ferdinand tak pernah terjawab. Tapi filmnya bergerak cepat, segera mengembalikan Ferdinand ke peternakan akhir suatu kecelakaan berujung kesalahpahaman, urung menyisakan waktu bagi kita memikirkan kejanggalan tersebut.

Meski waktu berlalu, namun kondisi peternakan tetap sama. Valiente (Bobby Cannavale) masih memusuhi, mencela keengganan Ferdinand bertarung, sementara banteng-banteng lain pun bertahan mengusung mimpi meraih kejayaan sebagai lawan tanding matador. Satu-satunya perubahan ialah bertambahnya jumlah binatang yang berjasa meramaikan suasana. Lupe si kambing betina mencuri perhatian berkat suara Kate McKinnon yang tepat mewakili abnormalitas tokohnya, sedangkan trio landak, Una, Dos, Cuatro terampil mencuri benda-benda di sana. Jangan tanyakan keberadaan Tres. Mereka sudah memperingatkan kita.
Dengan huruf sekaya itu, sutradara Carlos Saldanha punya cukup modal merangkai kemeriahan kreatif. Ambil pola adegan dance battle yang bukan cuma perihal kekonyolan tingkah hewan, tapi pemanfaatan ciri masing-masing. Trio kuda dengan gaya elegan, Angus (David Tennant) dan sentuhan Skotlandia miliknya, hingga Maquina yang kembali mengocok perut melalui gerak robotik, membabat habis lagu Watch Me-nya Nick Jonas, memancing gadis kecil yang duduk di sebelah aku ikut menari penuh semangat. Sungguh pemandangan menyenangkan.

Ferdinand memang urung menyoroti ambiguitas sopan santun terkait laga banteng di Spanyol, menentukan pendekatan bersenang-senang menyikapi aspek kulturalnya, menyerupai dipertontonkan pada suatu adegan yang memparodikan parade Running of the Bulls. Tapi bukan masalah. Tidak semua animasi wajib menyusuri jalur kompleks sebagaimana Pixar semoga menjadi bagus. Terlebih saat pelajaran berharga perihal kasih sayang sanggup dipetik oleh penonton anak, sementara kita, orang dewasa, dibentuk merenungkan "siapa monster sesungguhnya?" begitu titik puncak bergulir.

The Killing Of A Sacred Deer / Brigsby Bear / Captain Underpants: The First Epic Movie

Saat saya merasa 2017 tidak bisa lebih aneh pasca menyaksikan Mother!The Killing of a Sacred Deer yang membawa Yorgos Lanthimos dan Efthymis Filippou memenangkan naskah terbaik di gelaran Festival Film Cannes simpulan Mei kemudian justru bisa lebih menghantam jiwa daripada karya Darren Aronofsky tersebut. Sebaliknya, Brigsby Bear buatan DaveMcCary menghangatkan jiwa lewat aura kasatmata yang dimiliki, begitu pula Captain Underpants: The First Epic Movie selaku pembiasaan dari buku dongeng anak Captain Underpants yang imajinatif. 

The Killing of a Sacred Deer (2017)
Dalam naskah pertunjukan Iphigenia in Aulis yang dipentaskan pada 405 SM, Agamemmon, pemimpin koalisi Yunani, tidak sengaja membunuh rusa suci milik Artemis. Sebagai balasan, Artemis mengirim badai, memaksa Agamemmon mengorbankan puterinya, Iphigenia, supaya angin kencang itu berhenti. Dalam The Killing of a Sacred Deer, keluarga ahli bedah berjulukan Steven (Colin Farrell) lumpuh dan bakal mati mengenaskan kecuali ia bersedia membunuh satu dari mereka. Kelalaian ketika operasi yang mengakibatkan simpulan hidup pasien jadi penyebab "kutukan". Martin (Barry Keoghan sebagai tokoh paling mengerikan tahun ini), putera si pasien, mewakili tugas Artemis. Seperti biasa, abjad ciptaan Lanthimos bicara dalam nada datar, membangun suasana yang tambah mengerikan seiring tirai dongeng tersingkap. Belum lagi ditambah iringan musik menyayat. Metode itu turut berfungsi memaparkan soal "topeng". Semanis apapun lip service diucapkan karakternya, tiada verbal tampak. Sebaliknya, mereka bernyawa kala meluapkan kejujuran, walau teramat jelek dan kejam. Di tangan Lanthimos, konflik batin mendorong kesan hilangnya kemanusiaan baik secara fisik maupun mental, menghasilkan setumpuk pemandangan tidak nyaman. Ironisnya, justru ketika itu wajah orisinil insan terungkap. (4/5)

Brigsby Bear (2017)
Brigsby Bear bicara mengenai pengaruh budaya populer, bahkan menyertakan Mark Hamill selaku ikon geekdom dalam penampilan singkat yang membuat para penggemar berharap ia lebih banyak memamerkan bakat voice acting-nya. Protagonisnya yaitu James (Kyle Mooney), seorang geek yang terobsesi pada jadwal anak perihal beruang satria semesta berjudul Brigsby Bear Adventures. Beda dengan Napoleon Dynamite misalnya, Mooney yang turut menulis naskah bersama Kevin Costello membuat sosok geek yang "toleran", mau beradaptasi, menyentuh hal di luar obsesinya, bersedia terlibat interaksi sosial, sehingga gampang disukai. Geekiness dalam Brigsby Bear bukan perilaku alienasi, melainkan kepolosan. Ada twist di awal yang takkan saya ungkap, pada dasarnya James mendapati jadwal favoritnya berhenti diproduksi, kemudian tetapkan membuatnya sendiri. Lubang terkait budi maupun gosip psikologis bertebaran seiring proses James melahirkan mahakarya, namun termaafkan berkat usungan semangat positifnya. Berpesan soal berdamai dengan masa kemudian untuk memulai awal baru, iringan piano anggun gubahan David Wingo melengkapi kehangatan tutur filmnya. (4/5)

Captain Underpants: The First Epic Movie (2017)
"Normal" bukan kata yang cocok diperlukan dari pembiasaan novel anak yang mempunyai judul-judul menyerupai The Sensational Saga of Sir Stinks-A-Lot atau The Attack of the Talking Toilets. Itu sebabnya tak perlu kita memusingkan bagaimana mainan hadiah sereal bisa membuat dua bocah usil, George (Kevin Hart) dan Harold (Thomas Middleditch), menghipnotis kepala sekolah mereka yang galak, Mr. Krupp (Ed Helms), menjadi Captain Underpants, satria super dari komik buatan keduanya. Tapi, jangankan kekuatan super, Captain Underpants tidak punya kostum kecuali celana dalam dan jubah berbahan dasar gorden. Professor Poopypants (Nick Kroll), dengan rencana menghapus tawa yaitu sang penjahat, pun Melvin (Jordan Peele) si kutu buku penjilat tanpa selera humor. Tapi musuh sejati filmnya yaitu kekakuan pengekang hak belum dewasa bersenang-senang. Perlawanan penuh kreativitas hadir kala sutradara David Soren mendobrak teladan normatif, mencampur aduk gaya animasi (komik strip, muppet, hingga flip-o-rama) sebagaimana Harold gemar seenaknya menyertakan lumba-lumba dalam komik. Amat kaya visualnya, sukar dipercaya film ini merupakan animasi komputer produksi DreamWorks dengan bujet terendah ($38 juta). Captain Underpants: The First Epic Movie dengan dominasi fart jokes dan celana dalam titular character-nya jelas tak sebodoh tampak luarnya. (4/5)

Kamis, 13 Desember 2018

Three Billboards Outside Ebbing, Missouri / The Shape Of Water / Loving Vincent

Three Billboards Outside Ebbing, Missouri dan The Shape of Water akan bersaing ketat di ajang Oscar 2018 nanti, khususnya pada kategori Best Actress di mana Frances McDormand dan Sally Hawkins jadi dua unggulan utama. Sementara keberadaan Coco menyulitkan Loving Vincent berbicara banyak, namun film animasi pertama yang seluruhnya dibentuk dengan lukisan ini terperinci pantas menerima perhatian anda.

Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017)
Inilah film di mana sulit bagi kita menebak apa yang akan segera terjadi maupun diutarakan. Sekali waktu misteri pembunuhan merambat. Berikunya giliran drama keluarga, komedi hitam, tragedi, sebelum kembali menyuguhkan misteri. Agama, rasisme, kekerasan oleh polisi, hingga kekejaman militer di negeri orang, semua disinggung. Banyak hal terjadi, kerap melompat antar genre, menyimpan kejutan-kejutan, Three Billboards Outside Ebbing, Missouri nyatanya bergerak rapi, lezat diikuti, pula gampang dimengerti berkat skenario cermat Martin McDonagh (In Bruges, Seven Psychopath). Semua diawali kenekatan Mildred Hayes (Frances McDormand) menyewa tiga billboard yang mempertanyakan kapasitas Sheriff Bill Willoughby (Woody Harrelson) dalam menyidik perkara pembunuhan dan pelecehan seksual puterinya. Masyarakat bersimpati kepada Mildred, tetapi Bill yakni polisi contoh yang disukai. Beberapa pihak pun menentang tindakan Mildred, termasuk Dixon (Sam Rockwell), polisi rasis yang tak segan menggunakan kekerasan. Kesenduan Harrelson bisa mencengkeram, sementara arogansi bercampur kebodohan Rockwell, yang bertransformasi jelang akhir, menghibur, mengundang benci untuk kemudian memancing simpati. Namun McDormand yakni pemimpin ensemble-nya. Ekspresi jarang berganti (wajah keras, tatapan tajam), hemat gestur, tapi kehadirannya nyata. Bahkan kala mengebor jari seorang pria, mimiknya tidak banyak berubah. McDorman dan Three Billboards Outside Ebbing, Missouri sama-sama brilian, liar, membara, sensitif. Seolah tengah menelusuri labirin dengan bermacam-macam gempuran yang tidak mungkin diantisipasi di tiap belokan. Pun ketimbang mencari sang pelaku, McDonagh menekankan proses saling mengobati antara mereka yang dirundung duka. Salah satu film paling komplet selama beberapa tahun terakhir. (5/5)

The Shape of Water (2017)
Terinspirasi dari Creature from the Black Lagoon (1954) yang sempat coba ia remake, Guillermo del Toro mempersembahkan film monster yang enggan ketinggalan menyinggun ragam info sosial. Rasisme dan homofobia menjadi subteks, praktik segregasi dikritisi. Percintaan beda spesies dalam The Shape of Water merupakan bentuk pinjaman del Toro atas kesetaraan. Tokoh utamanya, Elisa Esposito (Sally Hawkins) yakni tunawicara yang tinggal bersama seniman gay (Richard Jenkins), bersahabatan dengan perempuan kulit gelap berjulukan Zelda (Octavia Spencer), jatuh cinta pada monster amfibi (Doug Jones) yang dikurung di laboratorium belakang layar tempatnya bekerja. The Shape of Water merupakan perjuangan mewakili kaum marginal lewat paparan dongeng. Bahkan semenjak pertama terdengar, musik gubahan Alexandre Desplat seketika memancarkan sihir fantasi. Di tangan del Toro, keseharian monoton Elisa, dari berdiri tidur, masturbasi, menanti bus, hingga bekerja sebagai petugas kebersihan, terlihat kolam dunia khayal yang membuai, walau keindahan sebenarnya gres tampil tatkala del Toro menyelipkan momen musikal hitam-putih layaknya hidangan klasik Hollywood yang berkhasiat mengekspresikan isi hati sang tokoh utama. Demikian pula shot terakhirnya yang memadukan sinematografi menawan Dan Laustsen dan sensibilitas sang sutradara menyusun romantisme. Di antara kelembutan penuh rasa del Toro, Sally Hawkins menyeruak. Nihil tuturan verbal, Hawkins menampilkan kemurnian serta ketulusan yang memudahkan guna menyayangi sosoknya. Namun kualitas The Shape of Water sayangnya kurang merata. Sewaktu adegan Istimewa yang del Toro siapkan tengah mangkir dari layar, naskah tulisannya bersama Vanessa Taylor tidak punya cukup magnet guna menahan antusiasme penonton. (3.5/5)

Loving Vincent (2017)
Kalimat pernyataan sebelum film dimulai menegaskan bahwa Loving Vincent memang lebih mementingkan gaya. Style over substance. Dan memang sulit dipungkiri, tabrakan cat air ala lukisan Vincent van Gogh mengakibatkan film ini tiada duanya. Walau sebagaimana teknik visualnya menciptakan tokoh-tokoh yang ada terkesan artificial, penelusuran alurnya soal kehidupan serta janjkematian sang pelukis ternama takkan merenggut emosi. Menarik melihat karya-karya macam Sorrowing Old Man atau Young Man with Cornflowers bermanifestasi jadi tokoh-tokoh yang mengisi alur. Ketika seringkali kita mengenal seniman melalui karya ketimbang jati diri personalnya (sudah semestinya begitu), Loving Vincent mengajak mengenal titular character-nya lebih jauh bersamaan dengan perjuangan Armand Roulin (Douglas Booth) mengantar surat yang Vincent (Robert Gulaczyk) tulis untuk saudaranya, Theo, sebelum ia tewas bunuh diri. Fakta yang tadinya terang benderang di mata Armand perlahan berubah ambigu seiring pertemuannya dengan orang-orang dalam hidup Vincent, membuatnya makin memahami “si pelukis gila”. Skenario buatan Dorota Kobiela, Hugh Welchman, dan Jacek Dehnel kurang mulus memaparkan pergantian perilaku Armand. Dari persepsi negatif terhadap Vincent, mendadak ia amat peduli, bahkan rela melalui perjalanan jauh meski bahaya pemecatan menghantui. Misteri seputar janjkematian (dan kehidupan) Vincent mengundang rasa penasaran, namun lemahnya duo sutradara Dorota Kobiela dan Hugh Welchman menjaga tempo menghalangi efektivitas teka-tekinya mencengkeram atensi. (3.5/5)

The History of How to Get Bit Coin Refuted

The History of How to Get Bit Coin Refuted - For Limit, you are just setting a purchasing order or bidding the sum of Bitcoin you wish to b...