Three Billboards Outside Ebbing, Missouri dan The Shape of Water akan bersaing ketat di ajang Oscar 2018 nanti, khususnya pada kategori Best Actress di mana Frances McDormand dan Sally Hawkins jadi dua unggulan utama. Sementara keberadaan Coco menyulitkan Loving Vincent berbicara banyak, namun film animasi pertama yang seluruhnya dibentuk dengan lukisan ini terperinci pantas menerima perhatian anda.
Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017)
Inilah film di mana sulit bagi kita menebak apa yang akan segera terjadi maupun diutarakan. Sekali waktu misteri pembunuhan merambat. Berikunya giliran drama keluarga, komedi hitam, tragedi, sebelum kembali menyuguhkan misteri. Agama, rasisme, kekerasan oleh polisi, hingga kekejaman militer di negeri orang, semua disinggung. Banyak hal terjadi, kerap melompat antar genre, menyimpan kejutan-kejutan, Three Billboards Outside Ebbing, Missouri nyatanya bergerak rapi, lezat diikuti, pula gampang dimengerti berkat skenario cermat Martin McDonagh (In Bruges, Seven Psychopath). Semua diawali kenekatan Mildred Hayes (Frances McDormand) menyewa tiga billboard yang mempertanyakan kapasitas Sheriff Bill Willoughby (Woody Harrelson) dalam menyidik perkara pembunuhan dan pelecehan seksual puterinya. Masyarakat bersimpati kepada Mildred, tetapi Bill yakni polisi contoh yang disukai. Beberapa pihak pun menentang tindakan Mildred, termasuk Dixon (Sam Rockwell), polisi rasis yang tak segan menggunakan kekerasan. Kesenduan Harrelson bisa mencengkeram, sementara arogansi bercampur kebodohan Rockwell, yang bertransformasi jelang akhir, menghibur, mengundang benci untuk kemudian memancing simpati. Namun McDormand yakni pemimpin ensemble-nya. Ekspresi jarang berganti (wajah keras, tatapan tajam), hemat gestur, tapi kehadirannya nyata. Bahkan kala mengebor jari seorang pria, mimiknya tidak banyak berubah. McDorman dan Three Billboards Outside Ebbing, Missouri sama-sama brilian, liar, membara, sensitif. Seolah tengah menelusuri labirin dengan bermacam-macam gempuran yang tidak mungkin diantisipasi di tiap belokan. Pun ketimbang mencari sang pelaku, McDonagh menekankan proses saling mengobati antara mereka yang dirundung duka. Salah satu film paling komplet selama beberapa tahun terakhir. (5/5)
The Shape of Water (2017)
Terinspirasi dari Creature from the Black Lagoon (1954) yang sempat coba ia remake, Guillermo del Toro mempersembahkan film monster yang enggan ketinggalan menyinggun ragam info sosial. Rasisme dan homofobia menjadi subteks, praktik segregasi dikritisi. Percintaan beda spesies dalam The Shape of Water merupakan bentuk pinjaman del Toro atas kesetaraan. Tokoh utamanya, Elisa Esposito (Sally Hawkins) yakni tunawicara yang tinggal bersama seniman gay (Richard Jenkins), bersahabatan dengan perempuan kulit gelap berjulukan Zelda (Octavia Spencer), jatuh cinta pada monster amfibi (Doug Jones) yang dikurung di laboratorium belakang layar tempatnya bekerja. The Shape of Water merupakan perjuangan mewakili kaum marginal lewat paparan dongeng. Bahkan semenjak pertama terdengar, musik gubahan Alexandre Desplat seketika memancarkan sihir fantasi. Di tangan del Toro, keseharian monoton Elisa, dari berdiri tidur, masturbasi, menanti bus, hingga bekerja sebagai petugas kebersihan, terlihat kolam dunia khayal yang membuai, walau keindahan sebenarnya gres tampil tatkala del Toro menyelipkan momen musikal hitam-putih layaknya hidangan klasik Hollywood yang berkhasiat mengekspresikan isi hati sang tokoh utama. Demikian pula shot terakhirnya yang memadukan sinematografi menawan Dan Laustsen dan sensibilitas sang sutradara menyusun romantisme. Di antara kelembutan penuh rasa del Toro, Sally Hawkins menyeruak. Nihil tuturan verbal, Hawkins menampilkan kemurnian serta ketulusan yang memudahkan guna menyayangi sosoknya. Namun kualitas The Shape of Water sayangnya kurang merata. Sewaktu adegan Istimewa yang del Toro siapkan tengah mangkir dari layar, naskah tulisannya bersama Vanessa Taylor tidak punya cukup magnet guna menahan antusiasme penonton. (3.5/5)
Loving Vincent (2017)
Kalimat pernyataan sebelum film dimulai menegaskan bahwa Loving Vincent memang lebih mementingkan gaya. Style over substance. Dan memang sulit dipungkiri, tabrakan cat air ala lukisan Vincent van Gogh mengakibatkan film ini tiada duanya. Walau sebagaimana teknik visualnya menciptakan tokoh-tokoh yang ada terkesan artificial, penelusuran alurnya soal kehidupan serta janjkematian sang pelukis ternama takkan merenggut emosi. Menarik melihat karya-karya macam Sorrowing Old Man atau Young Man with Cornflowers bermanifestasi jadi tokoh-tokoh yang mengisi alur. Ketika seringkali kita mengenal seniman melalui karya ketimbang jati diri personalnya (sudah semestinya begitu), Loving Vincent mengajak mengenal titular character-nya lebih jauh bersamaan dengan perjuangan Armand Roulin (Douglas Booth) mengantar surat yang Vincent (Robert Gulaczyk) tulis untuk saudaranya, Theo, sebelum ia tewas bunuh diri. Fakta yang tadinya terang benderang di mata Armand perlahan berubah ambigu seiring pertemuannya dengan orang-orang dalam hidup Vincent, membuatnya makin memahami “si pelukis gila”. Skenario buatan Dorota Kobiela, Hugh Welchman, dan Jacek Dehnel kurang mulus memaparkan pergantian perilaku Armand. Dari persepsi negatif terhadap Vincent, mendadak ia amat peduli, bahkan rela melalui perjalanan jauh meski bahaya pemecatan menghantui. Misteri seputar janjkematian (dan kehidupan) Vincent mengundang rasa penasaran, namun lemahnya duo sutradara Dorota Kobiela dan Hugh Welchman menjaga tempo menghalangi efektivitas teka-tekinya mencengkeram atensi. (3.5/5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar