Dress code untuk gala premiere Silariang Cinta yang (Tak) Direstui adalah hijau. Tidak aneh. "Mungkin menyesuaikan poster yang didominasi hijau", begitu pikir saya. Lalu filmnya bergulir, terlihat minuman, kasur, pakaian, lebih banyak didominasi berwarna hijau. Dibantu tata cahaya, putih pun menjurus kehijauan. Kemudian aku tahu, baju bodo (pakaian budbahasa Bugis) hijau khusus diperuntukkan bagi kaum bangsawan. Dengan meminta penonton mengenakan baju hijau serta mengakibatkan hijau warna umum di filmnya, sutradara Wisnu Adi dan tim bagai tengah menghapus batas strata, yang merupakan pemicu konflik Silariang Cinta yang (Tak) Direstui.
Strata menghalangi percintaan Yusuf (Bisma Karisma) dan Zulaika (Andania Suri). Yusuf putera pengusaha kaya, tetapi hanya rakyat biasa. Sedangkan Zulaika ialah keturunan bangsawan. Niat mereka melangsungkan komitmen nikah pun tak direstui, khususnya oleh Rabiah (Dewi Irawan), ibu Zulaika. Satu pihak mementingkan gengsi sebagai konglomerat, pihak lain menjunjung harga diri tinggi golongan darah biru. Sungguh insan melupakan kemanusiaan atas nama martabat.
Gagal memperoleh restu, dua protagonis kita nekat untuk silariang alias kawin lari meski nyawa jadi taruhan. Sebab pihak keluarga Zulaika yang diwakili Puang Ridwan (Sese Lawing) mencari keduanya tanpa henti, pula bertekad menghunuskan badik ke badan Yusuf. Sungguh situasi genting, tetapi skenario buatan Oka Aurora (Dear Love, Hijabers in Love) enggan terlampau serius maupun bergelora atas nama dramatisasi, satu kelemahan terbesar Silariang: Menggapai Keabadian Cinta tahun lalu. Di tengah pelarian, Zulaika sempat mengeluh kelelahan akhir jauhnya perjalanan. Yusuf pun menjawab "namanya juga Silariang".
Syukurlah film ini bersedia menyelipkan interaksi santai. Kisahnya jadi lebih membumi. Di tangan tim yang kurang kompeten, romansa bakal selalu dijejali kalimat puitis yang oleh para pemain dibawakan layaknya bocah SD tengah berguru baca puisi. Demikian juga paparan konflik yang tidak lupa menyentuh hal-hal fundamental menyerupai kesulitan ekonomi sekaligus ego yang secara alami akan sesekali menguasai Yusuf dan Zulaika. Yusuf mewaspadai kejujuran sang istri menciptakan Zulaika tersinggung, merasa harga diri sebagai keturunan ningrat diinjak-injak.
Keduanya hingga ke pertengkaran tersebut merupakan proses natural. Wajar kalau di satu titik Zulaika membawa-bawa wacana strata. Artinya ia manusia. Andania Suri menunjukkan penampilan remaja yang sama manusiawinya, sedangkan Bisma, pasca tampil mengesankan di Juara, kini beberapa kali menunjukkan verbal yang kurang cocok pada momen serius meski pesona kala melakoni adegan kasual tak perlu diragukan. Tapi sebagaimana Ayat-Ayat Cinta 2, Dewi Irawan dalam kemunculan singkat mencuat sebagai penampil terbaik. Perasaan bergemuruh tanpa harus memasang raut wajah maupun gestur besar.
Silariang Cinta yang (Tak) Direstui sayangnya urung menyentuh titik emosi tertinggi akhir lemahnya titik puncak permasalahan. Bahkan, secara keseluruhan, untuk kisah soal keberanian melawan budbahasa yang sanggup berujung maut, filmnya bergulir terlampau damai, mengakibatkan minimnya dinamika serta duduk kasus menarik. Konklusi yang sejatinya menyimpan harapan, sebuah bentuk doa terkait solusi ideal guna mengakhiri ukiran mengenai budbahasa yang sering terjadi di dunia nyata, terkesan kolam jalan pintas menuntaskan masalah. Silariang Cinta yang (Tak) Direstui tidak buruk. Hanya datar nan gampang dilupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar