Saat saya merasa 2017 tidak bisa lebih aneh pasca menyaksikan Mother!, The Killing of a Sacred Deer yang membawa Yorgos Lanthimos dan Efthymis Filippou memenangkan naskah terbaik di gelaran Festival Film Cannes simpulan Mei kemudian justru bisa lebih menghantam jiwa daripada karya Darren Aronofsky tersebut. Sebaliknya, Brigsby Bear buatan DaveMcCary menghangatkan jiwa lewat aura kasatmata yang dimiliki, begitu pula Captain Underpants: The First Epic Movie selaku pembiasaan dari buku dongeng anak Captain Underpants yang imajinatif.
Dalam naskah pertunjukan Iphigenia in Aulis yang dipentaskan pada 405 SM, Agamemmon, pemimpin koalisi Yunani, tidak sengaja membunuh rusa suci milik Artemis. Sebagai balasan, Artemis mengirim badai, memaksa Agamemmon mengorbankan puterinya, Iphigenia, supaya angin kencang itu berhenti. Dalam The Killing of a Sacred Deer, keluarga ahli bedah berjulukan Steven (Colin Farrell) lumpuh dan bakal mati mengenaskan kecuali ia bersedia membunuh satu dari mereka. Kelalaian ketika operasi yang mengakibatkan simpulan hidup pasien jadi penyebab "kutukan". Martin (Barry Keoghan sebagai tokoh paling mengerikan tahun ini), putera si pasien, mewakili tugas Artemis. Seperti biasa, abjad ciptaan Lanthimos bicara dalam nada datar, membangun suasana yang tambah mengerikan seiring tirai dongeng tersingkap. Belum lagi ditambah iringan musik menyayat. Metode itu turut berfungsi memaparkan soal "topeng". Semanis apapun lip service diucapkan karakternya, tiada verbal tampak. Sebaliknya, mereka bernyawa kala meluapkan kejujuran, walau teramat jelek dan kejam. Di tangan Lanthimos, konflik batin mendorong kesan hilangnya kemanusiaan baik secara fisik maupun mental, menghasilkan setumpuk pemandangan tidak nyaman. Ironisnya, justru ketika itu wajah orisinil insan terungkap. (4/5)
Brigsby Bear bicara mengenai pengaruh budaya populer, bahkan menyertakan Mark Hamill selaku ikon geekdom dalam penampilan singkat yang membuat para penggemar berharap ia lebih banyak memamerkan bakat voice acting-nya. Protagonisnya yaitu James (Kyle Mooney), seorang geek yang terobsesi pada jadwal anak perihal beruang satria semesta berjudul Brigsby Bear Adventures. Beda dengan Napoleon Dynamite misalnya, Mooney yang turut menulis naskah bersama Kevin Costello membuat sosok geek yang "toleran", mau beradaptasi, menyentuh hal di luar obsesinya, bersedia terlibat interaksi sosial, sehingga gampang disukai. Geekiness dalam Brigsby Bear bukan perilaku alienasi, melainkan kepolosan. Ada twist di awal yang takkan saya ungkap, pada dasarnya James mendapati jadwal favoritnya berhenti diproduksi, kemudian tetapkan membuatnya sendiri. Lubang terkait budi maupun gosip psikologis bertebaran seiring proses James melahirkan mahakarya, namun termaafkan berkat usungan semangat positifnya. Berpesan soal berdamai dengan masa kemudian untuk memulai awal baru, iringan piano anggun gubahan David Wingo melengkapi kehangatan tutur filmnya. (4/5)
"Normal" bukan kata yang cocok diperlukan dari pembiasaan novel anak yang mempunyai judul-judul menyerupai The Sensational Saga of Sir Stinks-A-Lot atau The Attack of the Talking Toilets. Itu sebabnya tak perlu kita memusingkan bagaimana mainan hadiah sereal bisa membuat dua bocah usil, George (Kevin Hart) dan Harold (Thomas Middleditch), menghipnotis kepala sekolah mereka yang galak, Mr. Krupp (Ed Helms), menjadi Captain Underpants, satria super dari komik buatan keduanya. Tapi, jangankan kekuatan super, Captain Underpants tidak punya kostum kecuali celana dalam dan jubah berbahan dasar gorden. Professor Poopypants (Nick Kroll), dengan rencana menghapus tawa yaitu sang penjahat, pun Melvin (Jordan Peele) si kutu buku penjilat tanpa selera humor. Tapi musuh sejati filmnya yaitu kekakuan pengekang hak belum dewasa bersenang-senang. Perlawanan penuh kreativitas hadir kala sutradara David Soren mendobrak teladan normatif, mencampur aduk gaya animasi (komik strip, muppet, hingga flip-o-rama) sebagaimana Harold gemar seenaknya menyertakan lumba-lumba dalam komik. Amat kaya visualnya, sukar dipercaya film ini merupakan animasi komputer produksi DreamWorks dengan bujet terendah ($38 juta). Captain Underpants: The First Epic Movie dengan dominasi fart jokes dan celana dalam titular character-nya jelas tak sebodoh tampak luarnya. (4/5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar