Komedi sanggup dikatakan baik bila bisa memenuhi tujuan memancing tawa, sebagaimana horor menyulut ketakutan, atau adu memacu adrenalin. Menjadi Istimewa jikalau terdapat adegan (dengan fungsi mendukung tujuan itu) yang terus tertanam di ingatan. Pada Daddy's Home, momen tersebut hadir ketika Brad (Will Ferrell) terjungkal ke tembok akhir gagal mengontrol motor milik Dusty (Mark Wahlberg). Sekuelnya berusaha mengulangi sihir serupa tatkala Brad kelabakan mengendalikan mesin penyedot salju. Konsep menyerupai dengan hasil berbeda lantaran sang sutradara, Sean Anders, sekedar berusaha meniru. Itulah mengapa Daddy's Home 2 bukan suguhan spesial.
Tapi bukan pula komedi buruk, dan saya pun tergelak menyaksikan situasi abstrak ketika jumlah ayah berlipat ganda. Selaku versi ekstrim dari anak masing-masing, datanglah para kakek; Don (John Lithgow) yang lebih cerewet, konyol, dan norak dibanding Brad, juga Kurt (Mel Gibson) si tua-tua keladi lewat tingkat kekejaman serta sarkasme yang menciptakan Dusty terlihat lembut. Demi nuansa kekeluargaan Natal, mereka bersama istri dan bocah-bocah menentukan berlibur di sebuah resort. Kondisi ini memfasilitasi pemandangan menarik semisal keempat ayah dengan kegilaan berlainan berkumpul di tengah malam, berdebat soal termostat.
Banyak perdebatan, banyak pertengkaran, yang disebabkan kekonyolan Don dan Brad maupun sinisme Kurt, takkan berujung pembicaraan waras. Anders mengemas segala perbincangan itu bagai peperangan. Perang verbal di mana kalimat yang karakternya lontarkan tak ubahnya berondongan peluru senapan mesin. Bising, cepat, kacau nan tanpa aturan. Enggan memperhatikan timing, formasi punch line di naskah goresan pena Anders dan John Morris gagal mendarat keras pada urat tawa penonton. Walau berkat jajaran pemainnya, rasa kantuk belum hingga menguasai.
Ferrell tetap pesakitan, seorang anak kecil bertubuh remaja dengan kesialan beruntun, yang semakin ia menderita, semakin penonton terhibur. Sewaktu Wahlberg sebagai Dusty sekarang merupakan tokoh cerdik paling sehat sementara bakat komikal John Cena dibatasi minimnya bahan pendukung, dua kakek sanggup mencuri atensi. Gibson memainkan tugas penuh wibawa sekaligus bermulut pedas menyerupai kerap ia lakoni, hanya saja, sekarang maskulinitas tersebut digunakan untuk pondasi humor yang nyatanya sukses besar. Begitu gampang ia tebang setiap kesempatan. Sedangkan Lithgow, melalui senyum lebar dan mata berbinar yakni yang terbaik. Menggelitik semenjak awal, ia remukkan perasaan hanya dalam satu momentum emosional.
Secara mengejutkan Daddy's Home 2 mempunyai setumpuk porsi drama, atau setidaknya tuturan serius yang bersembunyi di belakang kedok banyolan-banyolan. Wajar, mengingat bertambahnya jumlah ayah berarti bertambah banyak pula masalah. Terlampau banyak malah, hingga filmnya kesulitan menyediakan penanganan total. Beberapa problematika memperoleh resolusi natural, macam relasi Dusty-Kurt yang bagus namun sederhana. Tapi ada pula yang tertinggal, misalnya ketika perjuangan Kurt menarik perhatian cucu-cucu terlupakan. Terdapat 9 orang anggota keluarga (10 ditambah Roger-nya Cena), dan mereka semua diberi subplot. Berlebihan, meski disertakannya sekelumit pesan mengenai hak perempuan semenjak kecil terasa melegakan.
Penutup berupa nomor musikal diiringi lagu Do They Know It's Christmas? bak pertunjukan darurat yang tampil lebih mendadak daripada suguhan Bollywood. Konklusi pun terasa ajaib, tapi bukankah Natal memang wacana keajaiaban? Mengusung semangat tersebut, walau dihukum menggunakan jalan yang terkesan malas, Daddy's Home 2 masih suatu komedi yang baik, biarpun takkan hinggap usang di benak para penontonnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar