Tampilkan postingan dengan label Kurang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kurang. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Desember 2018

Mata Batin (2017)

Sinema horor tanah air sedang marak oleh aksara dengan kemampuan melihat makhluk halus. Diawali Mereka Yang Tak Terlihat yang mengedepankan drama keluarga, diikuti Keluarga Tak Kasat Mata yang entah maunya apa, sekarang Mata Batin memilih meletakkan fokus pada penelusuran sisi supranatural yang didukung keterlibatan parapsikolog Citra Prima sebagai bintang film pendukung. Jarangnya perjalanan menyelami dunia lain demi memahami seluk-beluk gaib dalam film kita memberi potensi pembeda, yang sayangnya, kembali dikalahkan obligasi menyajikan repetisi trik-trik teror murahan, meruntuhkan perbedaan tersebut. 

Bersama Davin (Denny Sumargo) sang kekasih, Alia (Jessica Mila) menentukan pulang dari merantau di Thailand pasca kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan kemudian lintas, demi menjaga adiknya, Abel (Bianca Hello). Gagasan kembali ke rumah masa kecil tidak Abel sambut positif, alasannya ialah di situlah pernah terjadi kejadian traumatis, tatkala sesosok makhluk halus menyerangnya. Abel sendiri bisa melihat yang tak terlihat lantaran mata batinnya terbuka semenjak lahir. Menolak percaya, Alia meminta Windu (Citra Prima), seorang paranormal, membuka mata batinnya. Tidak butuh waktu usang hingga Alia mengalami teror serupa Abel, yang makin usang makin berbahaya.
Dwilogi The Doll membawa Rocky Soraya menuju kemantapan gaya, yang ia terapkan pula di Mata Batin. Kekerasan berdarah di mana sekali bacokan pisau takkan cukup merenggut nyawa insan tetap menjadi titik tertinggi, meski kali ini porsinya tak mendominasi babak akhir. Begitu juga pengadeganan berbasis kekacauan suasana yang mengandalkan gerak kamera dinamis garapan Asep Kalila, kolaborator langganannya sedari The Doll. Setidaknya Mata Batin tampil berenergi berkat kedua aspek itu, sekaligus memunculkan harapan, suatu hari kelak Rocky berminat menciptakan film slasher.

Bersenjatakan energi sedemikian tinggi, Mata Batin ibarat insan dengan raga solid. Namun tidak jiwanya, ketika cara menakut-nakuti Rocky masih berkutat di metode penampakan gamblang bersuara berisik, ditambah desain hantu yang menganggap bahwa kengerian berbanding lurus dengan kerusakan wajah. Bisa efektif untuk beberapa penonton, tapi ketika pengulangan-pengulangan ngotot dipertahankan, timbul kelelahan juga kebosanan. Pun titik puncak "dunia lain" miliknya hadir tumpul bagai rumah hantu pasar malam murahan. Sial bagi Rocky, jump scare terbaik yang melibatkan kain putih belum usang ini sudah kita temui dalam Pengabdi Setan, sehingga dampaknya tidak sekuat harapan. 
Citra Prima menuturkan rangkaian pemahaman terkait hukum serta ragam sisi alam gaib dan mata batin. Menarik disimak, tapi kesan "sekilas info" gagal ditampik lantaran kurang piawaianya duo penulis skenario, Fajar Umbara dan Riheam Junianti, menyusun informasi-informasi berharga tersebut menjadi struktur alur yang bisa membedakan Mata Batin dengan judul-judul bertema serupa di atas. Mengenai beberapa twist, naskahnya pun kedodoran. Ada yang meninggalkan setumpuk lubang budi menganga, ada pula yang bagai kurang budi dalam caranya mengungkap fakta (identitas perampok bertopeng). 

Mata Batin sama sekali tidak buruk. Jessica Mila mulus merespon ragam situasi angker yang Alia alami, bukti dirinya pantas diberi proyek berkelas pasca rentetan film jelek semenjak Pacarku Anak Koruptor. Seperti umumnya produksi Hitmaker Studios, tata artistik Mata Batin cukup memuaskan mata, termasuk segelintir imbas visual yang walau jauh dari kata sempurna, sama sekali tidak memalukan. Mata Batin is not an embarassing effort, just repetitive, uncreative, and frustratingly boring. 

Mau Jadi Apa? (2017)

(Review ini mengandung spoiler)
Menulis tentang Mau Makara Apa? begitu rumit. Selaku komedi, film yang diangkat dari buku berjudul sama mengenai kehidupan Soleh Solihun semasa kuliah ini tergolong solid. Walau kerap meleset, humornya tampil segar, mencerminkan "kenakalan" Soleh berceloteh. Sekali lagi, selaku komedi, Mau Makara Apa? patut direkomendasikan. Namun ada satu poin terkait konflik besarnya yang hadir dalam perspektif mengganggu. Poin yang mempunyai paralel dengan kontroversi fenomenal yang belakangan tengah mengguncang industri perfilman: sexual abuse allegation

Memang, di samping media melucu juga curahan memori Soleh wacana masa mudanya, film ini menyelipkan sederet isu penting nan relevan, tentunya secara penuh senda gurau. Contohnya ketika Soleh bergabung sebagai wartawan majalah kampus Fikom Unpad, Fakjat (Fakta Jatinangor) demi mendekati pujaan hatinya, Ros (Aurelie Moeremans). Persoalan sumbangsih masyarakat terhadap negara disinggung dalam setting kala iklim politik nasional sedang memanas pasca reformasi. Haruskah perwujudan kepedulian melulu soal politik hingga menolak bahasan "remeh" seputar olahraga dan seni? Apakah jurnalistik "berbobot" wajib identik dengan keseriusan dan dibawakan kaku? 
Kejengahan itu menggiring Soleh bersama kelima rekannya   Lukman (Boris Bokir), Fey (Anggika Bolsterli), Marsyel (Adjis Doaibu), Eko (Awwe), Syarif (Ricky Wattimena)   mendirikan majalah alternatif berjulukan Karung Goni (Kabar, Ungkapan, Gosip, dan Opini), membahas musik, film, percintaan, hingga gosip terhangat di lingkungan kampus. Seiring kesuksesan Karung Goni, timbul hasrat memaparkan kasus yang lebih berat, membawa filmnya mengkritik represi media serta penutupan fakta dari publik guna melindungi nama baik perseorangan, instansi, atau lebih luasnya, negara. 

Mau Makara Apa? tak ketinggalan membahas asam manis perkuliahan dengan enam protagonis sebagai jembatan. Mulai patah hati hingga dilema personal mahasiswa. Soleh bersama Khalid Kashogi dan Agasyah Karim jeli menunjukkan observasi lewat skenario, menyinggung betapa problematika sejatinya bersifat relatif. Bagi Eko, sang ayah patut dibenci, lantaran kegagalan bisnisnya mengancam impiannya lanjut kuliah ke Australia batal. Namun bagi Lukman, Eko seharusnya bersyukur alasannya ialah ayahnya masih berusaha, sementara ayah Lukman sibuk berjudi. Di antara barisan kekonyolan, sudut pandang ini terasa spesial, dilengkapi tatanan momen dramatik yang tersaji apik. Mungkin ini kiprah Monty Tiwa di bangku sutradara, menjaga biar Mau Makara Apa? tetap seimbang dikala Soleh liar melucu. 
Usaha menciptakan penonton merasa dekat diusung pula oleh selipan kultur terkenal masa 90-an hingga awal 2000 (lagu, pengucapan nama-nama tenar) dan gaya komedi. Soleh ingin "mengakrabi" penonton menggunakan teknik breaking the fourth wall, juga meta jokes untuk melontarkan referensi-referensi kekinian yang dipahami penonton, dari Cek Toko Sebelah atau Ariel "Noah". Segar, tapi jadi berlebihan dikala berbaik hati menjelaskan banyolan wacana budaya terkenal masa lampau, seolah takut generasi kini tersesat. Padahal sewaktu makna humor dijelaskan, daya bunuhnya rawan lenyap. Untungnya Anggika Bolsterli senantiasa mencuat sebagai penyelamat tiap komedinya gagal mengenai sasaran, menjadi figur idola bersenjatakan performa asing layaknya "anak teater jarang manggung". 

Sampai gangguan itu tiba. (SPOILER ALERT) Alkisah, Karung Goni hendak membongkar pemerkosaan dosen terhadap mahasiswa yang Soleh dengar eksklusif dari korban, yang melarangnya memuat dongeng itu. Enggan menurut, kesannya informasi tersebut naik cetak. Melawan represi atas fakta dan berkedok "for the greater good", aspek ini mengesampingkan etika, menolak peka kepada korban. Walau filmnya berujung bahagia, di realita, perilaku demikian sanggup menambah luka batin. Mari memandang dari sisi mereka. Meski untuk kebaikan, apa anda bersedia menguak malu ke khalayak luas tanpa persetujuan? Karena selain berpikir kritis sekaligus lantang melawan, kita perlu sensitivitas didasari rasa kemanusiaan. 

Sabtu, 15 Desember 2018

Ayat-Ayat Cinta 2 (2017)

SPOILER ALERT: Fahri kembali menikah di sekuel ini. Melihat track record karakter yang diperankan Fedi Nuril dalam beberapa film religi, fakta tersebut bukan kejutan. Pertanyaannya, dengan siapa? Karena ibarat film pertama ketika ia diperebutkan Aisha, Maria, Noura hingga Nurul, Fahri masih laki-laki mulia idola wanita. Sesungguhnya penokohan Fahri memang hanya tersusun atas dua kata: mulia dan idola. Pintar, kaya, dan tampan sanggup disertakan, tapi tetap tidak menambah kedalaman. Fahri begitu sempurna, sisi manusiawinya nyaris lenyap.

Kini beliau tinggal di Edinburgh, Skotlandia, hidup mapan sebagai dosen yang rutin mendapatkan setumpuk hadiah makanan dari penggemar. Tapi hatinya urung tergoda, setia menanti Aisha yang hilang, diduga meninggal di Palestina. Alih-alih dibenamkan kesedihan, Fahri menentukan membantu orang-orang tanpa pandang bulu, dari Nenek Catarina (Dewi Irawan dalam kepiawaian bermain rasa) yang seorang Yahudi hingga Keira (Chelsea Islan) yang menyalahkan umat Islam akhir ajal sang ayah. Bisa diduga, kebaikan Fahri layaknya magnet penarik cinta wanita. Hulya (Tatjana Saphira), sepupu Aisha yang hendak menempuh S2, Brenda (Nur Fazura), pengacara yang kerap beliau tolong, Sabina (Dewi Sandra), imigran yang ia pekerjakan, semua jatuh hati. Pun menengok trailer-nya, kita tahu pada satu titik, kebencian Keira berubah jadi permohonan semoga dinikahi. 
Ketiadaan cela dalam diri Fahri mengakibatkan Ayat-Ayat Cinta 2 sebatas kumpulan episode yang merekam kebaikan-kebaikannya, menutupi gejolak batin soal upaya mengikhlaskan kepergian Aisha. Ini satu-satunya menunjukan Fahri masih manusia. Dia menangis menyadari kesedihan pembentuk kelemahannya. Tapi sebelum beranjak menuju eksplorasi lebih jauh, duduk kasus usai pasca obrolan singkat dengan sobat lamanya, Misbah (Arie Untung). Fahri memperoleh pencerahan semoga merelakan sang istri, mengikuti kata hati untuk menikah lagi. Mencapai film kedua, rupanya dilema Fahri tetap berkutat seputar menikah atau tidak. 

Bahkan proses mencari keikhlasan itu berakhir sia-sia, lantaran melihat konklusi yang ditawarkan, Fahri justru makin terjebak di masa lalu. Belum lagi ditambah "keajaiban" medis serta keberadaan twist yang terkesan membohongi, paruh akhir Ayat-Ayat Cinta 2 cenderung memancing tawa daripada haru. Setidaknya bagi penonton umum ibarat saya, lantaran sasaran pasar utama filmnya yakni para akhwat pemuja Fedi Nuril terdengar berteriak histeris sembari berurai air mata. Saya memutuskan menahan tawa demi menghormati mereka, sebagaimana Ayat-Ayat Cinta 2 menghormati kelompok penonton yang punya perbedaan cara pandang. 
Naskah buatan Alim Sudio dan Ifan Ismail mungkin dangkal mengkaji debat soal toleransi dalam Islam, termasuk mengenai perlakuan terhadap perempuan yang dijawab seadanya. Namun jalan pikir film ini tak sesempit asumsi Meski penempatannya kurang mulus, obrolan wacana Pancasila menawarkan filmnya coba menghargai keragaman. Tidak ada ceramah menggurui, dan itu patut diapresiasi. Tentu terdapat perbedaan ideologi, yang apabila dikeluhkan, saya sama saja dengan para fanatik yang membabi buta membela kepercayaannya. 

Ayat-Ayat Cinta 2 bakal berhasil di pasaran, namun takkan mencapai tingkat fenomena setara film pertama yang dibekali setting perkampungan Kairo plus scoring bernuansa etnik garapan Tya Subiakto dan lagu-lagu ikonik yang dibawakan Rossa. Ditangani Guntur Soeharjanto, kemewahan dan kemegahan dipentingkan, menciptakan filmnya nampak terlalu ibarat suguhan religi berlokasi luar negeri kebanyakan, sebutlah 99 Cahaya Di Langit Eropa yang juga karya Guntur. Suguhan religi berlokasi luar negeri dengan tokoh-tokoh Eropa atau Timur Tengah berwajah Indonesia dan fasih bicara Bahasa Indonesia. 

Jumat, 14 Desember 2018

Pitch Perfect 3 (2017)

Pitch Perfect 3 ibarat kembalinya sebuah band yang pernah berjaya, namun secara setengah hati, diisi album gres tanpa bahan memadahi, pula tur ala kadarnya yang semata bersifat obligasi. It's all about money with no energy and creaticity. Ironisnya, hal yang seakan-akan dialami The Barden Bellas. Selepas gagal beradaptasi dalam realita selepas universitas, mereka bereuni, mencoba lagi peruntungan di panggung hanya untuk mendapati kejayaan masa kemudian sulit diulangi. Inilah ketika realita (secara kebetulan) mengimitasi karya, sayangnya dalam konteks negatif.

Jajaran cast sama, skenario pun masih dikerjakan oleh Kay Cannon dan Mike White, tapi dingklik sutradara sekarang ditempati Trish Sie. Harapannya, pengalaman menggarap Step Up: All In (2014) menghasilkan sekuen musikal sedap. Namun pesona Bellas lenyap ketika Sie membungkus performa mereka bagai siaran ajang pencarian talenta menyanyi di televisi. Pun kelompok pesaing, Evermoist, grup band yang terdiri atas empat wanita, ikut melempem. Bergaya serupa rockstar, mereka membawakan pop-rock generik dengan agresi panggung medioker. 
Sepertinya daya kreasi Pitch Perfect yang lima tahun kemudian mengakibatkan gelas plastik alat musik keren menguap bersama kesuksesan The Bellas. Beca (Anna Kendrick) yaitu produser bagi lagu anyir milik rapper keras kepala, Fat Amy (Rebel Wilson) menganggur sambil sesekali memparodikan Amy Winehouse di tengah kota, sementara anggota lain tidak lebih beruntung. Berniat meraih kejayaan lagi, The Bellas nekat ambil bab pada tur dunia guna mengibur militer Amerika Serikat yang diselenggarakan oleh United Service Organization (USO). 

Realisasi terhadap realita merupakan tema utama, yang mana lebih sampaumur dibanding kedua pendahulunya. Bagaimana proses The Bellas mencapai titik tersebut? Itu yang semestinya dijawab alih-alih sibuk mengotak-atik unsur sampingan tak perlu. Momen pembukanya mencuatkan pertanyaan: Apa esensi ledakan ala suguhan adu dalam film seputar grup akapela? Pasca konteksnya dipaparkan pun, fungsinya  selain menghabiskan bujet nyaris tiga kali lipat film pertama  tetap jadi pertanyaan. Dan pertemuan Fat Amy dengan ayahnya (John Lithgow) hanya ada untuk membuka jalan menyelipkan adegan bombastis di atas. 
Sebagai film musik dengan konflik kompetisi musik, mestinya intensitas muncul alasannya yaitu kompetisi tersebut, perseteruan antar peserta, usaha tokoh utama mencapai tujuan (entah soal mengejar kemenangan atau penerimaan diri), tidak perlu tetek bengek penculikan berbumbu ledakan. That's cheap. Anna Kendrick dan Hailee Steinfeld sebagai Emily masih mempesona di atas panggung, tapi story arc Beca dangkal dan membosankan, sedangkan Emily lebih parah, sebatas penggembira. Fat Amy selaku "sumber derita" bisa memancing tawa, demikian juga absurditas Lilly (Hana Mae Lee), namun Pitch Perfect 3, dengan sekelompok protagonis perempuan berbeda kepribadian dan latar seharusnya lebih berwarna. Sayang, naskahnya kelabakan membagi fokus. 

Pertanyaan terpenting: Apakah Pitch Perfect 3 menyenangkan? Komedinya cukup efektif mengocok perut. Mayoritas nomor musikalnya kurang berkesan, walau tatkala The Bellas membawakan Toxic, sulit rasanya menahan badan ikut bergoyang biarpun sedikit. Ya, dalam film di mana para protagonis disindir sebagai grup karaoke alasannya yaitu cuma menyanyikan karya orang lain, cover bagi lagu rilisan awal 2000-an justru jadi yang paling memorable. Pitch Perfect 3 memang reuni setengah hati. The Bellas need another new cups if they want to comeback (again). 

Surat Cinta Untuk Starla The Movie (2017)

Memerankan empat tokoh serupa dalam empat romansa sepanjang 2017, Jefri Nichol mesti berpindah haluan sejenak tahun depan. Sebelumnya, bolehlah kita sekali lagi menikmati Nichol sebagai bad boy yang (diam-diam) berhati emas. Dia memang terlahir untuk abjad demikian. Dan pembiasaan layar lebar lagu buatan Virgoun yang sempat pula diangkat menjadi web series berjudul sama ini terperinci memfasilitasi talenta sang aktor. 

Jefri menjadi Herma Chandra, remaja yang sulit diatur, seniman graffiti jalanan yang kerap diburu polisi, enggan berkuliah, ke mana-mana mengendarai kendaraan beroda empat renta sambil menenteng mesin tik peninggalan mendiang kakeknya. Singkatnya, Herma yakni hipster. Gemar menghabiskan waktu di cafe hipster pula. Tapi beliau juga pecinta alam, mengutuk mereka yang membuang sampah sembarangan. Karena tokoh dalam film remaja arus utama kita wajib mempunyai kompas budpekerti biar penonton ABG bisa mengambil contoh, bukan?
Pasangannya tak lain Starla (Caitlin Halderman), gadis kaya pemilik coffee shop yang pertunangannya gres saja kandas. Jika Jefri masih sering lemah soal pengucapan dialog, Caitlin lebih dinamis. Meski berparas manis dan berasal dari kalangan atas, ia bukan puteri glamor macam aktris Screenplay lain, sebutlah Michelle Ziudith. Caitlin sebagai Starla merupakan gadis idola manis yang sanggup kita jumpai di kehidupan nyata. Itulah mengapa sosoknya gampang disukai. Diawali kesalahpahaman, Starla justru jatuh cinta pada Herma, pun sebaliknya.

Dipandang lewat segi filmis, Surat Cinta Untuk Starla jelas penuh cacat. Dialog berupa kalimat puitis yang dipaksa bersatu ketimbang pembicaraan natural manusia, flashback yang tak terjahit rapi dengan setting masa kini, hingga twist tak substansial selaku pemenuhan obligasi terhadap ciri Screenplay. Tapi beda ceritanya kalau memandang film ini drama romantika "kental sakarin" dengan tujuan tunggal memancing jeritan penonton muda, tepatnya golongan Sekolah Menengan Atas ke bawah. Di sela-sela romansa, Ramzy dan Ricky Cuaca memberi bumbu komedi tak lucu, sedangkan Teuku Ryzki alias Kiki menegaskan bahwa personil CJR yang bisa berakting hanya Iqbaal.
Walau dangkal, saya urung menentang hiburan menyerupai itu. Surat Cinta Untuk Starla sanggup menciptakan para gadis berteriak tiap Jefri Nichol bicara atau membelai wajah Caitlin Halderman (sebelum alhasil bicara juga). Suatu hari mereka bakal beranjak dewasa, tak lagi menggemari gaya percintaan demikian, kemudian geleng-geleng kepala melihat generasi lebih muda yang tergila-gila. Bukan masalah. Ini yang disebut proses perkembangan. 

Sama halnya proses berkarya Screenplay yang perlahan berkembang. Biarpun duet penulis naskah, Tisa TS dan Sukhdev Singh jalan di tempat, kehadiran Rudi Aryanto (dulu menciptakan judul "legendaris", Psikopat) menggantikan Asep Kusdinar sebagai sutradara sedikit menghasilkan rasa baru. Mementingkan fokus pada kedua tokoh alih-alih pemandangan (yang tak lagi menggunakan setting luar negeri mewah) kala terjadi interaksi, korelasi Herma-Starla terjalin melalui obrolan yang memaksimalkan pesona dua pemain utama. It's more about relationship than luxury. Andai naskahnya tak coba tampil rumit secara berlebihan dalam merangkai twist yang berakhir kolam benang kusut.

City Of Ghosts / Victoria & Abdul / Marjorie Prime

Anda masih menganggap enteng bahaya ISIS? Saksikan City of Ghosts, dan renungkan betapa Suriah dibentuk kolam neraka oleh organisasi berkedok agama tersebut. Di cuilan dunia lain, Victoria & Abdul yang mengantar Judi Dench meraih nominasi Golden Globe untuk Best Actress - Motion Picture Comedy or Musical, justru merayakan kolonialisme berkedok cerita persahabatan beda kasta, ras, dan agama. Sementara Marjorie Prime mengatakan bahwa tidak semua science-fiction memandang artificial intelligence yang makin mendekati insan sebagai suatu ancaman. 

City of Ghosts (2017)
Raqqa Is Being Slaughtered Silently (RBSS). Begitu nama pergerakan citizen journalism yang mewartakan kekejaman ISIS di Raqqa, Suriah, kepada dunia meski nyawa jadi taruhan dan mesti hidup bersembunyi. Nama yang gamblang, menusuk tanpa basa-basi, segamblang footage yang disediakan bagi Matthew Heineman (Cartel Land) guna merangkai dokumenternya. Pembunuhan jadi pertunjukan, kepala insan dipertontonkan, belum dewasa dipaksa "berjihad". City of Ghosts mengerikan bukan saja lantaran pemandangan kejam. Horor sebenarnya hadir di benak kita. Melihat video propaganda kelas Hollywood milik ISIS, timbul pertanyaan, "seberapa berpengaruh mereka?". Dan menyerupai diutarakan satu narasumber, ISIS yakni gagasan, sanggup tumbuh cepat di mana saja, termasuk Indonesia. City of Ghosts menyadarkan akan fakta itu. Di satu titik, beberapa anggota RBSS mengungsi ke Jerman hanya untuk mendapatkan cemoohan lain dari para anti-imigran, memperluas cakupan film menuju penindasan oleh hegemoni kaum yang merasa superior. Mengingat dominan rekaman berasal dari RBSS, Heineman harus menyesuaikan, sulit berkreasi demi totalitas dampak emosi. Pun terbatasnya sumber (ISIS menutup jalan masuk isu Raqqa) serta alasan keamanan cenderung menghadirkan tanya ketimbang jawaban. Seusai menonton, saya menemukan lebih banyak cerita luar biasa di internet. Tapi apakah kegiatan itu bakal terjadi tanpa City of Ghosts? Mungkin tidak. Film ini membuka mata saya. (4/5)

Victoria & Abdul (2017)
Bayangkan film soal masa kolonialisme Hindia Belanda di mana orang Indonesia diminta mempersembahkan penghargaan bagi Wilhelmina, berinisiatif mencium kaki sang Ratu, erat dengannya, menentukan meninggalkan tanah air dan hidup glamor di Kerajaan Belanda. Tidak peduli betapa piawai Stephen Frears (Florence Foster Jenkins, Philomena) merangkai momen jenaka berbentuk olok-olok pada insan haus kuasa, pemujaan Abdul (Ali Fazal) terhadap Ratu Victoria (Judi Dench) yakni pemandangan mengganggu. Victoria pun menyukai Abdul, bahkan menjadikannya Munshi (Guru) sampai seisi Istana kocar-kacir. Victoria & Abdul punya niat baik menuturkan keberhasilan korban rasisme (Abdul seorang muslim India) menggoyang kenyamanan penguasa, tapi naskah yang dangkal gagal menekankan intensi Abdul selain impian memperbaiki hidup, mengesankan beliau hanya social climber biasa. Ada perjuangan memanusiakan Victoria sebagai perempuan bau tanah kesepian sekaligus humanis yang memperjuangkan hak minoritas. Lucu, alasannya yakni beliau yang mengawali nyaris 100 tahun pendudukan Inggris di India. Setidaknya Judi Dench luar biasa melakoni dua sisi Victoria: pimpinan sinis nan intimidatif di depan bawahan, perempuan ramah tapi ringkih yang membutuhkan mitra di depan Abdul. Victoria & Abdul bagai aristokrat yang coba merakyat, mengunjungi perkampungan sambil melambaikan tangan dari dalam kendaraan beroda empat mewah. (2/5)

Marjorie Prime (2017)
Di suatu versi masa depan, orang mati sanggup diwujudkan kembali sebagai kecerdasan buatan berbentuk hologram yang disebut "Prime". Marjorie (Lois Smith), perempuan bau tanah penderita demensia menghabiskan hari mengobrol bersama Prime yang mempunyai wajah mendiang suaminya, Walter (Jon Hamm) kala muda. Memori Walter Prime (demikian ia dipanggil) berasal dari isu yang disediakan Marjorie, pula puterinya, Tess (Geena Davis) dan sang suami, Jon (Tim Robbins). Mereka bicara soal kenangan, baik yang indah, maupun yang menjadi indah lantaran ditutupinya fakta-fakta menyedihkan. Mengadaptasi naskah teater berjudul sama, sutradara sekaligus penulis naskah Michael Almereyda menyusun Marjorie Prime dengan pembicaraan lirih selaku perenungan mengenai memori. Almereyda menebar magis melalui formasi dialog, yang bagi karakternya bagai terapi. Marjorie berusaha mengumpulkan keping-keping ingatan yang tersisa sedangkan Tess ingin memperbaiki hubungan dengan ibunya. Para Prime mungkin bukan insan utuh, tapi menolong insan menemukan keutuhan. Ditutup pembicaraan menyihir, Marjorie Prime menampilkan kondisi kala Manusia dan A.I. saling mengisi alih-alih mengancam. (4.5/5)

Rabu, 12 Desember 2018

Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018

Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018

Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018
Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018

Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018, Sebagai whodunit, The Commuter punya destinasi yang telah nampak bahkan sebelum aksara utamanya melangkahkan kaki memasuki kereta menuju perjalanan panjang yang memaksanya berpacu dengan waktu. Kita cuma perlu memberi sedikit perhatian terhadap detail remeh sambil memasang kecurigaan. Tapi whodunit bukan melulu soal twist mengejutkan. Proses yang mengandung unsur “5W 1H” merupakan komponen penting, kalau bukan yang terpenting. Sayangnya, itu pun gagal dipenuhi oleh film kerja sama keempat Liam Neeson dan sutradara Jaume Collet-Serra ini.

The Commuter

Neeson memerankan Michael MacCauley, karyawan perusahaan asuransi jiwa yang rutin menaiki kereta dikala berangkat dan pulang kerja. Alhasil, ia pun mengenal beberapa orang sesama komuter, begitu pula sebaliknya. Tentu ia bukan laki-laki bau tanah sembarangan. Michael yaitu mantan polisi. Sang bintang film masih dapat diandalkan menjadi action hero. Fisiknya mungkin tak lagi prima melakoni adegan perkelahian, namun wibawanya menciptakan penonton percaya Neeson dapat melaksanakan semuanya. Malang bagi Michael, ketangguhan yang dimiliki tak kuasa menghindarkannya dari pemecatan.

Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018
Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018

Jalan Cerita Filim The Commuter

Di tengah perjalanan pulang, tatkala rasa gamang alasannya mesti menceritakan pemecatan itu pada istrinya ketika tanggungan membayar iuran kuliah putera mereka sedang menghantui, Michael didatangi oleh Joanna (Vera Farmiga). Joanna memperlihatkan $100 ribu untuk Michael, asalkan ia bersedia menggunakan pengetahuannya perihal para komuter guna mencari sosok misterius berjulukan Prynne yang tak semestinya berada di atas kereta. Kenapa harus Michael? The Commuter memperlihatkan tanggapan yang sekilas masuk nalar tapi kalau ditilik lebih lanjut, meninggalkan kejanggalan.

Kalau aku mempunyai cukup uang, akses, dan kekuasaan untuk mengendalikan pegawanegeri dan menyabotase kereta, takkan sulit melenyapkan apalagi menemukan seseorang. Tidak perlu repot-repot menempuh langkah kompleks yang peluang keberhasilannya tak seberapa. Collet-Serra terang mengidolakan Alfred Hitchcock. Sejak Unknown, filmnya melibatkan unsur teror ruang sempit, identitas rahasia, atau aksara “wrong man in the wrong place”. Di banyak sekali film tersebut Collet-Serra bekerja sama dengan penulis berlainan, kecuali Ryan Engle yang menulis The Commuter dan Non-Stop. Lalu bagaimana dapat seluruhnya menyimpan permasalahan serupa? Rasanya kalimat “jodoh tidak ke mana” memang benar adanya.

Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018
Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018

Karya sang sutradara acap kali lemah di konklusi. Seperti The Shallow, The Commuter melompat menuju titik puncak bombastis pasca menghabiskan durasi membangun misteri. Tidak keliru. Collet-Serra hendak menciptakan Hitchcockian modern yang menggabungkan misteri dan agresi dahsyat. Tapi titik puncak The Commuter, yang menerapkan CGI berkualitas medioker, urung menyimpan ketegangan. Penonton urung diajak mencicipi kecemasan layaknya sebuah momen sewaktu Michael nyaris terlindas kereta api. Adegan tersebut efektif, alasannya memberi penitikberatan akan ancaman yang dialami si tokoh, sedangkan klimaksnya lalai. 

Skenario milik Byron Willinger, Philip de Blasi, dan Ryan Engle kurang mumpuni membagi fase, kapan mesti menebar pertanyaan, kapan mesti membagi tanggapan sedikit demi sedikit. Naskahnya menggantungkan tanda tanya untuk penonton jawab tanpa mempunyai teka-teki menarik untuk memancing antusiasme mencari jawaban.  Jaume Collet-Serra terang diberkahi visi memadahi dalam hal meramu aksi. Dia hanya harus mencari pasangan penulis naskah yang tepat.

Ringkasan Cerita Filim Flight 555 2018

Ringkasan Cerita Filim Flight 555 2018

Ringkasan Cerita Filim Flight 555 2018
Ringkasan Cerita Filim Flight 555 2018

Ringkasan Cerita Filim Flight 555 2018, Membuat komedi itu susah. Apalagi jikalau spesifik, khusus menyasar problem atau setting tertentu. Seperti namanya, Flight 555 (seharusnya) merupakan komedi penerbangan dengan humor yang terfokus pada benda, peristiwa, dan orang-orang di pesawat. Adegan pembukanya melaksanakan itu, menggelitik lewat parodi terhadap ragam ciri penumpang: wakil rakyat sombong, orang yang gres pertama terbang dan bertingkah norak, pramugari yang bergerak hiperbolis kala mengatakan arah bangku. Melihat Meriza Febriani yang elok dalam balutan seragam pramugari bertingkah demikian jadi anomali menyenangkan.

Flight 555

Memang perlu perjuangan ekstra bagi duo penulis naskah, Isman HS dan Raymond Handaya (juga sutradara) mengkreasi opening-nya. Dituntut berpikir keras tampaknya membuat pikiran mereka terforsir kemudian kering ide. Humor yang menyusul, khususnya sesudah pembajakan dimulai, tak lebih dari kebodohan seragam nan reptitif. Pembajakannya absurd. Putu (Tarra Budiman) yang pulang ke Bali demi menemui sang ayah yang sakit keras menemukan pistol di toilet pesawat, sempurna sebelum seorang Sunda dengan koteka (Anyun Cadel) dan seorang Papua (Abdur Arsyad) membajak pesawat menggunakan panah. Tidak usang kemudian muncul satu lagi pembajak yang mengenakan bom. 

Ringkasan Cerita Filim Flight 555 2018
Ringkasan Cerita Filim Flight 555 2018

Jalan Cerita Filim Flight 555

Merasa perlu bertindak, Putu menggunakan pistol yang ia temukan untuk berpura-pura ikut membajak pesawat guna mengkonfrontasi ketiga pelaku. Absurd dan penuh perjuangan melucu, namun skenarionya bukan menitikberatkan pada situasi, melainkan karakter. Ketimbang membuat absurditas menurut rutinitas penerbangan menyerupai dilakukan Airplane! yang tampaknya memberi efek besar (romansa dengan pramugari, konflik terkait mantan kekasih, keracunan makanan, pembersih beling pesawat, kemiripan pilot dengan sosok ternama), Flight 555 mengutamakan supaya beberapa tokohnya bertindak sebodoh mungkin.

Ringkasan Cerita Filim Flight 555 2018
Ringkasan Cerita Filim Flight 555 2018

Anyun Cadel misalnya, diminta melontarkan pernyataan ngawur terus menerus sampai ke titik membosankan, bahkan menyebalkan. Sebaliknya, begitu banyak aksara malah sama sekali tidak berstatus tokoh komedik. Rusmedie Agus yakni antagonis super serius, Tarra Budiman selaku protagonis hanya konyol di awal sewaktu status jomblonya jadi materi olok-olok, pula Mikha Tambayong yang tersia-siakan talentanya. Raymond urung memahami potensi Mikha melakoni komedi deadpan serupa yang ditunjukkan ketika merespon kecerobohan supir yang membuat lipstiknya berserakan di awal kemunculan.

Terlalu banyaknya aksara plus situasi serius menyiratkan hilang arahnya film ini. Pembajakan diposisikan kolam kenyataan selaku situasi hidup-mati alih-alih sekedar parodi pengundang tawa di tengah premis absurd. Tapi di ketika bersamaan, Flight 555 juga menggelontorkan lawakan di luar nalar. Inkonsistensi tone pun hadir. Absurditas komikal yang tak mempedulikan logika bertabrakan, gagal membaur dengan komponen suspens dan dramatik. Anda pun dapat memindahkan setting Flight 555 ke mana saja. Bus, perahu, kapal selam. tinggal pilih. Pertanda filmnya gagal memanfaatkan kekhasan setting.

Selasa, 11 Desember 2018

Ringkasan Cerita Filim Maze Runner: The Death Cure 2018

Ringkasan Cerita Filim Maze Runner: The Death Cure 2018

Ringkasan Cerita Filim Maze Runner: The Death Cure 2018, Seperti The Hunger Games, Maze Runner menjadi satu dari sedikit seri film adpatasi novel young adult yang berhasil bertahan menyentuh garis tamat ketika kebanyakan rontok bahkan sebelum mendapat sekuel, atau lebih tragis lagi, menyisakan babak epilog (yes, I’m lookin’ at you, Divergent). Sayangnya, menyerupai The Hunger Games pula, petualangan Thomas (Dylan O’Brien) dan kawan-kawan makin kehilangan daya tarik sehabis meninggalkan konsep menarik yang awalnya diusung. Tanpa upaya tokohnya kabur dari labirin sembari menyibak misteri di baliknya, Maze Runner sekedar blockbuster generik yang bakal menguap dari ingatan begitu durasi berakhir.

Ringkasan Cerita Filim Maze Runner: The Death Cure 2018
Ringkasan Cerita Filim Maze Runner: The Death Cure 2018

Maze Runner: The Death Cure

Tengok sekuen pembukanya kala Thomas, Newt (Thomas Brodie-Sangster), dan sisa-sisa “Gladers” melangsungkan misi guna menyelamatkan Minho (Ki Hong Lee) dari kurungan WCKD. Walau Wes Ball, yang juga mengarahkan dua film pertama, tahu dasar-dasar mengemas agresi bertempo cepat, adegan tersebut tak ubahnya versi medioker dari train heist milik Fast & Furious. Kencang, berisik, tapi sulit mengundang kesan, apalagi hingga menyedot ketertarikan terhadap usaha para protagonis. Sebut saya terlalu serius menyikapi blockbuster macam ini, tetapi sungguh banyak momen janggal hadir mengisi. Momen janggal yang memaksakan terciptanya rintangan, atau memperpanjang rintangan yang telah ada.

Ringkasan Cerita Filim Maze Runner: The Death Cure 2018
Ringkasan Cerita Filim Maze Runner: The Death Cure 2018

Jalan Cerita Filim Maze Runner: The Death Cure

Kenapa menentukan mengangkat gerbong terlebih dahulu ketimbang menembaki segelintir pasukan WCKD memakai pesawat dengan persenjataan lengkap yang berhasil dicuri? Itu akan menghemat waktu dan mengurangi resiko, termasuk resiko keliru menentukan gerbong. Namun T.S. Nowlin selaku penulis naskah tentu takkan membiarkan itu, alasannya ialah The Death Cure butuh pemanis konflik untuk menambal alur tipisnya. Pertanyaannya, perlukah mencapai durasi 140 menit? Rasanya tidak. Karena praktisnya, 90 menit awal The Death Cure murni soal menyelamatkan Minho dengan beberapa plot sampingan yang gagal berkembang, dari tarik-ulur romansa Thomas dan Teresa (Kaya Scodelario) hingga ambiguitas moral mengenai eksperimen vaksin yang dilakukan WCKD.

Poin kedua mestinya jadi sorotan utama The Death Cure. Kisahnya tidak pernah berani melangkah ke area abu-abu. WCKD, sebagaimana namanya tetap sekelompok orang kaya kejam nan egois yang mengorbankan nyawa-nyawa remaja demi keselamatan diri sendiri dalam rangka percobaan yang kesudahannya pun tak pernah menemui titik terang. Lain dongeng jikalau percobaan itu berhasil, yang mana bakal memancing dilema serta memprovokasi pikiran penonton. Ketimbang demikian, filmnya cuma tertarik menggedor lewat agresi yang mengandalkan pengulangan pola.

Ringkasan Cerita Filim Maze Runner: The Death Cure 2018
Ringkasan Cerita Filim Maze Runner: The Death Cure 2018

Semua set-piece agresi selalu menghadirkan skenario berikut: tokoh utama terancam bahaya-tersudut-sekilas kehilangan harapan-mendadak muncul sosok lain, entah dari mana, menyelamatkan segalanya. Elemen kejutannya tak lagi bisa ketika dilakukan berulang kali. Dylan O’Brien dengan kharisma nihil plus akting datar pun tidak berdaya mengatrol intensitas. Justru Will Poulter yang kembali sebagai Gally lebih hidup dan menarik disimak. Kita tahu semenjak The Revenant kemudian Detroit, Poulter telah mengalami pendewasaan dalam performanya.  Dia lebih matang, tahu cara memberi bobot pada sepatah dua patah kata, menambah dinamika di dalamnya.

The Death Cure mempunyai third act bombastis, menampilkan kehancuran masif dibungkus CGI juga tata bunyi mumpuni. Niscaya menjadi suguhan epic andai alur yang mengawalinya tidak tampil bertele-tele penuh permasalahan yang sanggup terselesaikan jauh sebelumnya. Pun penutupnya akan terasa cantik sekaligus mengharukan bagi para penggemar yang telah terikat hatinya pada Thomas dan kawan-kawan. Maze Runner: The Death Cure bukan babak pamungkas memuaskan, tapi melihat kondisi sekarang, keberhasilan franchise blockbuster penyesuaian novel young adult merampungkan perjalanannya ialah prestasi yang patut disyukuri.

Minggu, 09 Desember 2018

Pai Kamu (2018)


Sidi Saleh (sutradara sekaligus penata kamera) membuka Pai Kau dengan close-up pantat huruf perempuan berjulukan Dian. Dia tengah bersiap mandi. Kamera menjauh, mengatakan punggung dan sekilas dadanya yang tak tertutup sehelai benang pun sebelum pintu kamar mandi tertutup. Dian kembali muncul tidak usang kemudian, hanya berbalut handuk, membicarakan seks bersama teman-temannya. Setelahnya ia tak lagi terlihat. Praktis berasumsi, Dian hanya berperan memfasilitasi shot bandel di atas. Pun lekuk badan yang terpampang itu tak menyimpan signifikansi bagi keseluruhan kisah.

Saya suka thriller erotis. Sensualitas bisa jauh lebih mencengkeram dan menyesakkan ketimbang banjir darah maupun kejaran pembunuh bersenjata tajam. Tapi Pai Kau bukan thriller erotis. Sekedar thriller yang secara bandel menyelipkan erotisme tanpa arti ibarat halnya dikala Sidi mengatakan terang isi rok Sinta (Natasha Gott). Untuk apa? Di Basic Instinct, Paul Verhoeven mengatakan Sharon Stone melipat kaki dari bersahabat guna menggambarkan apa yang dilihat karakternya. Di sini Sidi lah yang mengintip. Sidi yang tergoda, bukan Edy (Anthony Xie), si laki-laki pangkal permasalahan utama Pai Kau.
Edy ialah playboy. Menjelang hari pernikahannya dan Lucia Liem (Irina Chiu), ia masih sempat berafiliasi seks dengan Sinta, rekan kerjanya, di daerah parkir pula. Di daerah lain, Siska (Ineke Valentina) terpukul mendengar kabar ijab kabul Edy. Ada belakang layar di antara mereka, permasalahan yang belum tuntas. Thriller membutuhkan simpati penonton terhadap karakternya, alasannya tanpa simpati atau keterikatan, ketegangan bakal sulit dimunculkan. Pada Siska lah simpati penonton harusnya tercurah. Pada kemalangannya, pada rencana gilanya mengacaukan ijab kabul Edy.

Tapi sebelum rencana tersebut berlangsung, jarang sekali porsi diberikan untuk Siska. Justru Edy dan Lucia beserta sang ayah, Koh Liem (Tjie Jan Tan) lebih dominan. Sidi Mohammad Ariansah selaku penulis naskah ingin mengakibatkan keluarga Liem sebagai sarana menyelipkan warna sinema Hong Kong, dari problem keluarga, unsur mafia, atau sekedar bermain-main di tata artistik setting-nya. Pai Kau memberi pemandangan berbeda nan cukup menyegarkan berkat sentuhan kultur Tionghoa miliknya, walau kekuatan banyak adegan bernuansa thriller/kriminal “terjun bebas” kala akting kaku beberapa pemain pria. Hanya Verdi Solaiman sebagai Koh Jun, si laki-laki berdarah hambar penyuka lagu Hau Siang Hau Siang yang tampil baik.
Sidi piawai merangkai selipan-selipan komedi. Ada tiga adegan luar biasa lucu (dua melibatkan confetti, satu lagi toilet), tapi tak ada satu pun momen menegangkan, yang mana seharusnya jadi fokus Pai Kau. Sidi justru kurang berhasil melambungkan tensi dramatik dan ketegangan mencengkeram. Selain terkait ritme, kegagalan itu pun disebabkan ketiadaan kepedulian akan agresi yang dijalankan Siska. Belum lagi klimaksnya karam dalam pertengkaran ala opera sabun yang membahas permasalahan klasik (takkan saya ungkap, tapi bukan masalah sulit menebaknya).

Di sela-sela konflik utama, permainan Pai Kau sesekali mengisi. Saya pun berasumsi setiap poin dongeng mewakili masing-masing fase dalam permainan tersebut. Entahlah. Saya tidak memahami aturan, strategi, juga cara bermain Pai Kau. Filmnya sendiri tak menyulut harapan mencari tahu. Menyaksikan Ineke Valentina di paruh akhir, melihat tatapannya, caranya menggoda, saya yakin ia bisa menangani tugas dalam menu erotic thriller sungguhan. Thriller dengan sensualitas sebagai pondasi substansial pembangun intensitas.

London Love Story 3 (2018)


London Love Story 3 terperinci ditujukan bagi para penggemar saja. Penonton di luar lingkup tersebut, menyerupai saya, meski setia mengikuti dari film pertama, akan kesulitan mengingat kejadian-kejadian yang telah lalu. Bahkan sedikit flashback tak begitu membantu. Kenapa dulu Caramel (Michelle Ziudith) meninggalkan Dave (Dimas Anggara)? Apa Dave sebelumnya pernah mengalami kecelakaan? Semua kurang jelas di ingatan. Satu yang film ini terus coba ingatkan, bahwa Caramel pernah berdoa supaya Tuhan mengambil nyawanya satu hari sebelum Dave. Doa ini mengerikan bagi Dave, alasannya bila kelak Caramel meninggal, ia tahu keesokan harinya akan menyusul.

Doa tersebut hampir jadi kenyataan, dikala keduanya mengalami kecelakaan beberapa ahad sebelum melangsungkan janji nikah di Bali. Kecelakaan yang menciptakan Caramel tidak bisa menggerakkan kakinya, dan berdasarkan Dokter Rio (Derby Romero), ada kemungkinan ia lumpuh total. Identitas Dokter Rio sendiri ialah twist. Kejutan yang eksekusinya penuh lubang budi sekaligus tanpa signifikansi kecuali sebagai pemenuhan obligasi. Karena ini termasuk salah satu ciri khas Screenplay.
Saya membayangkan duo penulis naskahnya, Tisa TS dan Sukhdev Singh menyimpan template berisi checklist mengenai apa saja yang wajib muncul dalam film Screenplay. Twist? Cek. Kecelakaan atau penyakit? Cek. Jalan-jalan dengan kendaraan beroda empat mewah? Cek. Dialog puitis? Cek. Khusus soal dialog, kuantitasnya sedikit dikurangi, meski obrolan berkepanjangan tetap setia mengisi. Begitu panjang dan berulang, satu pokok permasalahan bisa dibahas dua kali, di mana sekali pembicaraan bisa berlangsung 5 menit.

Memasuki film ketiga (plus penampilan di produksi Screenplay lain), Michelle Ziudith makin cakap menjual momen bertabur kalimat “puitis”. Dia tersipu, menangis, tertawa dengan alamiah, seolah kata-kata gombal yang Dave lontarkan merupakan hal yang normal keluar dari verbal insan pada umumnya. Untuk Dimas Anggara, nyatanya ia cukup menarik disimak ketika tak dituntut bermanis ria lewat puisi. Saat Dave berpura-pura hendak menghajar Rio misalnya. Momen ringan namun hidup menyerupai itu yang sejatinya Screenplay butuhkan biar film-filmnya bernyawa.
Poin plus layak diberikan terhadap kemauan Tisa TS dan Sukhdev Singh bergerak ke ranah lebih kelam. Konflik London Love Story 3 bukan lagi ihwal cinta segitiga. Gejolak psikis Caramel kala bergulat dengan ketakutan serta shock tentu lebih rumit daripada kebingungan mengenai menentukan kekasih. Kondisi itu membuatnya menolak percaya pada keajaiban. Sudah niscaya itu sementara. Kita tahu bahwa sehabis proses penuh simplifikasi, Caramel bakal mempercayai keajaiban lagi sebagaimana para penulisnya mempercayakan penyelesaian persoalan pada keajaiban. Paling tidak ada perjuangan merangkai adegan romantis terkait keajaiban tersebut.

Seperti trailer-nya telah paparkan, Caramel akan meminta Dave mengakhiri relasi mereka. Alasannya dua: Pertama, Caramel tidak tahan melihat sang cinta sejati harus mengurusnya bagai perawat. Kedua, Caramel merasa Dave memberinya impian palsu dengan meyakinkan bila ia akan segera sembuh. Andai pemfokusan diberikan kepada alasan kedua, tujuan menyusun konflik yang lebih arif balig cukup akal bakal terpenuhi. Tapi London Love Story 3 memang khusus untuk para penggemar yang secara umum dikuasai belum memasuki usia dewasa.

The History of How to Get Bit Coin Refuted

The History of How to Get Bit Coin Refuted - For Limit, you are just setting a purchasing order or bidding the sum of Bitcoin you wish to b...