Tampilkan postingan dengan label Thriller. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Thriller. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Desember 2018

Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018

Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018

Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018
Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018

Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018, Sebagai whodunit, The Commuter punya destinasi yang telah nampak bahkan sebelum aksara utamanya melangkahkan kaki memasuki kereta menuju perjalanan panjang yang memaksanya berpacu dengan waktu. Kita cuma perlu memberi sedikit perhatian terhadap detail remeh sambil memasang kecurigaan. Tapi whodunit bukan melulu soal twist mengejutkan. Proses yang mengandung unsur “5W 1H” merupakan komponen penting, kalau bukan yang terpenting. Sayangnya, itu pun gagal dipenuhi oleh film kerja sama keempat Liam Neeson dan sutradara Jaume Collet-Serra ini.

The Commuter

Neeson memerankan Michael MacCauley, karyawan perusahaan asuransi jiwa yang rutin menaiki kereta dikala berangkat dan pulang kerja. Alhasil, ia pun mengenal beberapa orang sesama komuter, begitu pula sebaliknya. Tentu ia bukan laki-laki bau tanah sembarangan. Michael yaitu mantan polisi. Sang bintang film masih dapat diandalkan menjadi action hero. Fisiknya mungkin tak lagi prima melakoni adegan perkelahian, namun wibawanya menciptakan penonton percaya Neeson dapat melaksanakan semuanya. Malang bagi Michael, ketangguhan yang dimiliki tak kuasa menghindarkannya dari pemecatan.

Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018
Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018

Jalan Cerita Filim The Commuter

Di tengah perjalanan pulang, tatkala rasa gamang alasannya mesti menceritakan pemecatan itu pada istrinya ketika tanggungan membayar iuran kuliah putera mereka sedang menghantui, Michael didatangi oleh Joanna (Vera Farmiga). Joanna memperlihatkan $100 ribu untuk Michael, asalkan ia bersedia menggunakan pengetahuannya perihal para komuter guna mencari sosok misterius berjulukan Prynne yang tak semestinya berada di atas kereta. Kenapa harus Michael? The Commuter memperlihatkan tanggapan yang sekilas masuk nalar tapi kalau ditilik lebih lanjut, meninggalkan kejanggalan.

Kalau aku mempunyai cukup uang, akses, dan kekuasaan untuk mengendalikan pegawanegeri dan menyabotase kereta, takkan sulit melenyapkan apalagi menemukan seseorang. Tidak perlu repot-repot menempuh langkah kompleks yang peluang keberhasilannya tak seberapa. Collet-Serra terang mengidolakan Alfred Hitchcock. Sejak Unknown, filmnya melibatkan unsur teror ruang sempit, identitas rahasia, atau aksara “wrong man in the wrong place”. Di banyak sekali film tersebut Collet-Serra bekerja sama dengan penulis berlainan, kecuali Ryan Engle yang menulis The Commuter dan Non-Stop. Lalu bagaimana dapat seluruhnya menyimpan permasalahan serupa? Rasanya kalimat “jodoh tidak ke mana” memang benar adanya.

Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018
Ringkasan Cerita Filim The Commuter 2018

Karya sang sutradara acap kali lemah di konklusi. Seperti The Shallow, The Commuter melompat menuju titik puncak bombastis pasca menghabiskan durasi membangun misteri. Tidak keliru. Collet-Serra hendak menciptakan Hitchcockian modern yang menggabungkan misteri dan agresi dahsyat. Tapi titik puncak The Commuter, yang menerapkan CGI berkualitas medioker, urung menyimpan ketegangan. Penonton urung diajak mencicipi kecemasan layaknya sebuah momen sewaktu Michael nyaris terlindas kereta api. Adegan tersebut efektif, alasannya memberi penitikberatan akan ancaman yang dialami si tokoh, sedangkan klimaksnya lalai. 

Skenario milik Byron Willinger, Philip de Blasi, dan Ryan Engle kurang mumpuni membagi fase, kapan mesti menebar pertanyaan, kapan mesti membagi tanggapan sedikit demi sedikit. Naskahnya menggantungkan tanda tanya untuk penonton jawab tanpa mempunyai teka-teki menarik untuk memancing antusiasme mencari jawaban.  Jaume Collet-Serra terang diberkahi visi memadahi dalam hal meramu aksi. Dia hanya harus mencari pasangan penulis naskah yang tepat.

Senin, 10 Desember 2018

Hoax (2018)


Hoax sejatinya telah diputar di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2012, kemudian melanglang buana ke bermacam-macam pekan raya internasional sepanjang tahun berikutnya. Saat itu judulnya masih Rumah dan Musim Hujan. Enam tahun berselang, akibatnya film ini rilis di bioskop komersil tanah air sesudah berganti judul serta beberapa kru termasuk editor dan penata musik. Perubahan yang tampaknya bertujuan biar filmnya lebih gampang diakses penonton luas. Menurut yang telah menonton versi Rumah dan Musim Hujan (saya belum), Ifa Isfansyah selaku sutradara sekaligus penulis membagi alur menjadi tiga segmen terpisah.

Sementara dalam Hoax gaya narasi interwoven di mana tiap kisah hadir saling bergantian dipakai. Melihat porsi masing-masing karakter, ini keputusan tepat, lantaran kualitas antar segmen kurang berimbang. Ketika pengalaman Adhek (Tara Basro) begitu mencekam, pergolakan Ragil (Vino G Bastian) tampil lemah, miskin eksplorasi, pula tak solutif. Menyatukannya menciptakan ketiga dongeng saling melengkapi, menyokong satu sama lain, meski menjadikan permasalahan gres terkait lompatan tone. Tujuan awal Ifa memang merangkai tiga dongeng dengan warna dan genre berbeda.
Hoax dibuka oleh keceriaan buka puasa sekeluarga berkat permainan yang Bapak (Landung Simatupang) bawa dari Korea. Ifa sendiri pernah bersekolah film di Korea. Seusai buka bersama gres kita dihadapkan pada diam-diam para tokoh. Ragil yang tinggal bersama Bapak menyimpan fakta di balik kealiman yang mengungguli sang bapak yang menganut kejawen. Bapak menonton televisi, Ragil sudah siap berangkat solat. Bapak bermain wayang, Ragil membaca Al Qur’an. Kakaknya, Raga (Tora Sudiro), gemar berganti pacar dan kali ini giliran Sukma (Aulia Sarah) yang dibawa. Persoalan cinta pelik pun telah menanti. Sedangkan Adhek yang tinggal bersama Ibu (Jajang C Noer) mengalami kejadian mistis sesampainya di rumah.

“Siapa yang Bohong?”. Demikian tagline film ini. Pertanyaan yang kita sendiri kerap lontarkan di tengah maraknya hoax bertebaran. Ambiguitas informasi mengenai ilmu pengetahuan, informasi sosial, seksualitas, hingga agama ditampilkan Ifa, menciptakan Hoax terasa relevan bagi kondisi sekarang. Sayang, aneka macam duduk kasus di atas belum cukup mencengkeram, terpampang kolam sampul semata tanpa mengindahkan dilema batin maupun tabrakan sosial, khususnya terkait Ragil yang permasalahannya terkesan disederhanakan. Sebagai bingkai kondisi masyarakat Indonesia, Hoax cuma bermain di permukaan, tetapi sebagai penjaga tensi, penelusuran akan diam-diam para tokohnya bisa menjaga dinamika.  
Mengambil alih penyuntingan gambar dari Eddie Cahyono dan Greg Arya, Sentot Sahid berpadu dengan penyutradaraan Ifa memainkan intensitas melalui presisi gerak adegan. Banyak momen diakhiri oleh cliffhanger dan kejutan pemancing rasa penasaran. Eksperimen Ifa untuk membedakan pondasi genre tiap segmen pun menghasilkan alur yang acap kali mengecoh ekspektasi. Berbeda dengan Pesantren Impian, di sini Ifa piawai meramu atmosfer menegangkan melalui permainan tempo serta bahasa visual. Sebuah adegan yang memperlihatkan Ibu sedang solat menjadi puncak intensitas Hoax. Tentu ini tak terlepas dari akting Jajang C Noer. Gestur dan cara bicaranya mengundang kengerian di tengah rumah temaram tatkala identitas jadi hal yang dipertanyakan dan kebenaran nyaris tidak mungkin dipastikan. 

Pemain lain berakting solid sesuai porsi. Khusus untuk Tora, ia mengingatkan kita akan kapasitasnya yang tak terbatas sebagai komedian, pula bisa menjalani lakon serius. Jadi siapa yang bohong? Untungnya Hoax tidak mencoba menjawab gamblang pertanyaan itu, lantaran misteri terbaik yaitu yang tidak seutuhnya terungkap. Demikian juga soal situasi sampaumur ini, bukankah makin sulit menebak siapa penyebar kebohongan, siapa pembawa kebenaran? Ifa menentukan setia terhadap realita tersebut demi menjaga relevansi karyanya di samping sebagai drama-thriller yang hadir menegangkan secara konsisten.

Minggu, 09 Desember 2018

Pai Kamu (2018)


Sidi Saleh (sutradara sekaligus penata kamera) membuka Pai Kau dengan close-up pantat huruf perempuan berjulukan Dian. Dia tengah bersiap mandi. Kamera menjauh, mengatakan punggung dan sekilas dadanya yang tak tertutup sehelai benang pun sebelum pintu kamar mandi tertutup. Dian kembali muncul tidak usang kemudian, hanya berbalut handuk, membicarakan seks bersama teman-temannya. Setelahnya ia tak lagi terlihat. Praktis berasumsi, Dian hanya berperan memfasilitasi shot bandel di atas. Pun lekuk badan yang terpampang itu tak menyimpan signifikansi bagi keseluruhan kisah.

Saya suka thriller erotis. Sensualitas bisa jauh lebih mencengkeram dan menyesakkan ketimbang banjir darah maupun kejaran pembunuh bersenjata tajam. Tapi Pai Kau bukan thriller erotis. Sekedar thriller yang secara bandel menyelipkan erotisme tanpa arti ibarat halnya dikala Sidi mengatakan terang isi rok Sinta (Natasha Gott). Untuk apa? Di Basic Instinct, Paul Verhoeven mengatakan Sharon Stone melipat kaki dari bersahabat guna menggambarkan apa yang dilihat karakternya. Di sini Sidi lah yang mengintip. Sidi yang tergoda, bukan Edy (Anthony Xie), si laki-laki pangkal permasalahan utama Pai Kau.
Edy ialah playboy. Menjelang hari pernikahannya dan Lucia Liem (Irina Chiu), ia masih sempat berafiliasi seks dengan Sinta, rekan kerjanya, di daerah parkir pula. Di daerah lain, Siska (Ineke Valentina) terpukul mendengar kabar ijab kabul Edy. Ada belakang layar di antara mereka, permasalahan yang belum tuntas. Thriller membutuhkan simpati penonton terhadap karakternya, alasannya tanpa simpati atau keterikatan, ketegangan bakal sulit dimunculkan. Pada Siska lah simpati penonton harusnya tercurah. Pada kemalangannya, pada rencana gilanya mengacaukan ijab kabul Edy.

Tapi sebelum rencana tersebut berlangsung, jarang sekali porsi diberikan untuk Siska. Justru Edy dan Lucia beserta sang ayah, Koh Liem (Tjie Jan Tan) lebih dominan. Sidi Mohammad Ariansah selaku penulis naskah ingin mengakibatkan keluarga Liem sebagai sarana menyelipkan warna sinema Hong Kong, dari problem keluarga, unsur mafia, atau sekedar bermain-main di tata artistik setting-nya. Pai Kau memberi pemandangan berbeda nan cukup menyegarkan berkat sentuhan kultur Tionghoa miliknya, walau kekuatan banyak adegan bernuansa thriller/kriminal “terjun bebas” kala akting kaku beberapa pemain pria. Hanya Verdi Solaiman sebagai Koh Jun, si laki-laki berdarah hambar penyuka lagu Hau Siang Hau Siang yang tampil baik.
Sidi piawai merangkai selipan-selipan komedi. Ada tiga adegan luar biasa lucu (dua melibatkan confetti, satu lagi toilet), tapi tak ada satu pun momen menegangkan, yang mana seharusnya jadi fokus Pai Kau. Sidi justru kurang berhasil melambungkan tensi dramatik dan ketegangan mencengkeram. Selain terkait ritme, kegagalan itu pun disebabkan ketiadaan kepedulian akan agresi yang dijalankan Siska. Belum lagi klimaksnya karam dalam pertengkaran ala opera sabun yang membahas permasalahan klasik (takkan saya ungkap, tapi bukan masalah sulit menebaknya).

Di sela-sela konflik utama, permainan Pai Kau sesekali mengisi. Saya pun berasumsi setiap poin dongeng mewakili masing-masing fase dalam permainan tersebut. Entahlah. Saya tidak memahami aturan, strategi, juga cara bermain Pai Kau. Filmnya sendiri tak menyulut harapan mencari tahu. Menyaksikan Ineke Valentina di paruh akhir, melihat tatapannya, caranya menggoda, saya yakin ia bisa menangani tugas dalam menu erotic thriller sungguhan. Thriller dengan sensualitas sebagai pondasi substansial pembangun intensitas.

The History of How to Get Bit Coin Refuted

The History of How to Get Bit Coin Refuted - For Limit, you are just setting a purchasing order or bidding the sum of Bitcoin you wish to b...