Tampilkan postingan dengan label Musical. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Musical. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Desember 2018

The Greatest Showman (2017)

Silahkan buka Google, kemudian ketik "Ringling Bros. and Barnum & Bailey Circus" di kolom pencarian gambar. Anda akan melihat penari dan badut menggunakan kostum aneka warna, hewan-hewan melaksanakan atraksi, panggung dengan tata artistik meriah. Sirkus itu berhenti beroperasi semenjak 21 Mei 2017. Film debut sutradara Michael Gracey ini coba menghidupkan kemegahan serupa di layar lebar, melempar penonton ke 146 tahun kemudian dikala P. T. Barnum mendirikan Ringling Bros. and Barnum & Bailey Circus yang juga disebut "The Greatest Show on Earth". 

Daripada otentitas, pertunjukan Barnum (diperankan Hugh Jackman lewat karisma tanpa tanding) mengedepankan keajaiban semoga publik terperangah, terpukau, tertawa. "Penontonmu tampak lebih senang begitu keluar daripada dikala masuk", demikian ungkap Phillip Carlyle (Zac Efron), penulis naskah teater yang kelak jadi partner Barnum. Festive and fun entertainment. Itu tujuannya, tak peduli meski sedikit trik perlu diterapkan: menyumpal perut laki-laki tergemuk dengan bantal, memakaikan egrang di kaki laki-laki tertinggi. Bukan sepenuhnya penipuan, hanya melebih-lebihkan atas nama hiburan.
The Greatest Showman mengusung tujuan yang sama, sehingga musikal yaitu pilihan tepat, alasannya biopic formulaik takkan sanggup mewakili pesta pora di panggung Barnum. Untuk mencapai tujuannya, Pasek & Paul menulis lagu-lagu bertempo menghentak, riuh oleh instrumen serta gemuruh vokal para cast. Film ini menyadari potensi menjadi hiburan meriah, membuatnya berusaha keras (selalu) mengejar kemeriahan itu semenjak The Greatest Show selaku nomor pembuka berkumandang, ketimbang memilah menurut ketepatan emosi. Deretan lagu yang bagai versi overproduced dari Fall Out Boy yang sukar dibedakan satu sama lain pun dipoles terlalu mulus di studio, berujung melucuti emosi orisinil aktor. 

Tidak sanggup dipungkiri tata dekorasi yang melukiskan semarak sirkus di puncak popularitasnya mengundang decak kagum. Sinematografi kode Seamus McGarvey (Atonement, The Avengers) punya imaji lebih dari cukup guna merealisasikan pertunjukan visioner P. T. Barnum. Jajaran pemain juga penuh totalitas menangani kompleksitas tiap koreografi. Zendaya sebagai Anne, seniman trapeze, mudah menciptakan jatuh hati, sementara Lettie Lutz si Wanita Berjenggot mengajak kita bersorak mendukung seruannya. Namun bayangkan menonton La La Land yang seluruhnya terdiri atas momen epilog. Fenomenal, namun sihirnya tak bekerja maksimal bila disajikan terus menerus. 
This Is Me dan Rewrite the Stars merupakan nomor musikal paling berhasil, lantaran mengandung lebih dari sekedar kemegahan: melawan segregasi dan ungkapan cinta. Adegan Barnum dan sang istri, Charity (Michelle Williams) turut bicara soal cinta, tetapi purnama di langit serta tarian Williams menembus lembar-lembar seprai putih tidak seintim maupun seromantis pertukaran rasa Anne dan Phillip. Anne melayang lincah di langit-langit, seolah ingin terbang meninggalkan Phillip, namun tatapannya sulit lepas dari sang laki-laki kulit putih terpandang. Sedangkan Phillip terus berjuang menggapai cintanya. 

Naskah karya Jenny Bicks dan Bill Condon mungkin tidak memberi ruang guna meresapi jatuh-bangun kehidupan Barnum yang penuh gejolak pula kontroversi, tapi cukup untuk menciptakan penonton sebatas memahami. Dia mengumpulkan orang-orang terpinggirkan, menyediakan mereka kesempatan disorot layaknya bintang, lantaran ia sendiri dipandang sebelah mata. Dia berjuang lantaran enggan melihat puteri-puteri kesayangannya sengsara menyerupai dirinya dahulu, meski hal ini menyeret Barnum pada sisi gelap kesuksesannya. Barnum menyuguhkan hiburan, mengajak penonton tertawa, lantaran lelah mendapati keseharian yang terkekang oleh kesuraman.

Jumat, 14 Desember 2018

Pitch Perfect 3 (2017)

Pitch Perfect 3 ibarat kembalinya sebuah band yang pernah berjaya, namun secara setengah hati, diisi album gres tanpa bahan memadahi, pula tur ala kadarnya yang semata bersifat obligasi. It's all about money with no energy and creaticity. Ironisnya, hal yang seakan-akan dialami The Barden Bellas. Selepas gagal beradaptasi dalam realita selepas universitas, mereka bereuni, mencoba lagi peruntungan di panggung hanya untuk mendapati kejayaan masa kemudian sulit diulangi. Inilah ketika realita (secara kebetulan) mengimitasi karya, sayangnya dalam konteks negatif.

Jajaran cast sama, skenario pun masih dikerjakan oleh Kay Cannon dan Mike White, tapi dingklik sutradara sekarang ditempati Trish Sie. Harapannya, pengalaman menggarap Step Up: All In (2014) menghasilkan sekuen musikal sedap. Namun pesona Bellas lenyap ketika Sie membungkus performa mereka bagai siaran ajang pencarian talenta menyanyi di televisi. Pun kelompok pesaing, Evermoist, grup band yang terdiri atas empat wanita, ikut melempem. Bergaya serupa rockstar, mereka membawakan pop-rock generik dengan agresi panggung medioker. 
Sepertinya daya kreasi Pitch Perfect yang lima tahun kemudian mengakibatkan gelas plastik alat musik keren menguap bersama kesuksesan The Bellas. Beca (Anna Kendrick) yaitu produser bagi lagu anyir milik rapper keras kepala, Fat Amy (Rebel Wilson) menganggur sambil sesekali memparodikan Amy Winehouse di tengah kota, sementara anggota lain tidak lebih beruntung. Berniat meraih kejayaan lagi, The Bellas nekat ambil bab pada tur dunia guna mengibur militer Amerika Serikat yang diselenggarakan oleh United Service Organization (USO). 

Realisasi terhadap realita merupakan tema utama, yang mana lebih sampaumur dibanding kedua pendahulunya. Bagaimana proses The Bellas mencapai titik tersebut? Itu yang semestinya dijawab alih-alih sibuk mengotak-atik unsur sampingan tak perlu. Momen pembukanya mencuatkan pertanyaan: Apa esensi ledakan ala suguhan adu dalam film seputar grup akapela? Pasca konteksnya dipaparkan pun, fungsinya  selain menghabiskan bujet nyaris tiga kali lipat film pertama  tetap jadi pertanyaan. Dan pertemuan Fat Amy dengan ayahnya (John Lithgow) hanya ada untuk membuka jalan menyelipkan adegan bombastis di atas. 
Sebagai film musik dengan konflik kompetisi musik, mestinya intensitas muncul alasannya yaitu kompetisi tersebut, perseteruan antar peserta, usaha tokoh utama mencapai tujuan (entah soal mengejar kemenangan atau penerimaan diri), tidak perlu tetek bengek penculikan berbumbu ledakan. That's cheap. Anna Kendrick dan Hailee Steinfeld sebagai Emily masih mempesona di atas panggung, tapi story arc Beca dangkal dan membosankan, sedangkan Emily lebih parah, sebatas penggembira. Fat Amy selaku "sumber derita" bisa memancing tawa, demikian juga absurditas Lilly (Hana Mae Lee), namun Pitch Perfect 3, dengan sekelompok protagonis perempuan berbeda kepribadian dan latar seharusnya lebih berwarna. Sayang, naskahnya kelabakan membagi fokus. 

Pertanyaan terpenting: Apakah Pitch Perfect 3 menyenangkan? Komedinya cukup efektif mengocok perut. Mayoritas nomor musikalnya kurang berkesan, walau tatkala The Bellas membawakan Toxic, sulit rasanya menahan badan ikut bergoyang biarpun sedikit. Ya, dalam film di mana para protagonis disindir sebagai grup karaoke alasannya yaitu cuma menyanyikan karya orang lain, cover bagi lagu rilisan awal 2000-an justru jadi yang paling memorable. Pitch Perfect 3 memang reuni setengah hati. The Bellas need another new cups if they want to comeback (again). 

The History of How to Get Bit Coin Refuted

The History of How to Get Bit Coin Refuted - For Limit, you are just setting a purchasing order or bidding the sum of Bitcoin you wish to b...