Metode non-linier yang melompat seketika dari satu titik ke titik lain secara bergantian lebih efektik sekaligus gampang dinikmati dalam medium tulisan. Pada novel misalnya, pace kisah tergantung masing-masing pembaca. Terdapat kebebasan mempercepat atau memperlambat tempo, berhenti sejenak, atau bahkan mengulang untuk mencerna kisahnya. Sebaliknya, film memaksa penonton mengikuti sutradara. Resiko membesar jikalau membicarakan drama yang bertujuan merenggut perasaan. Meleset sedikit saja, peluang menggaet hati bisa hilang. Hal ini dialami Wonderstruck.
Ada dua setting waktu: 1927 dan 1977. Tahun 1927 berkisah perihal Rose (Millicent Simmonds), gadis tuna rungu yang kabur dari “tangan besi” ayahnya demi mencari idolanya, Lillian Mayhew (Julianne Moore), aktris yang karirnya memudar seiring transisi film bisu ke film suara. Sebagai penyesuaian, periode ini pun dikemas kolam film bisu. Todd Haynes (Far from Heaven, Carol) selaku sutradara menghadirkan harmoni imbas bunyi dengan visual yang menarik, mengutamakan kesan artistik ketimbang otentik.
Sedangkan tahun 1977 mempunyai Ben (Oakes Fegley) sebagai tokoh sentral dibalut sinematografi Edward Lachman yang mencerminkan nuansa warna film 70-an ber-setting urban. Pasca kecelakaan yang merenggut pendengarannya, Ben nekat kabur dari rumah sakit untuk mencari sang ayah, sehabis selama ini, mendiang ibunya, Elaine (Michelle Williams) menolak bercerita tentangnya. Rose dan Ben sama-sama tuna rungu, kabur dari rumah dengan tujuan mencari sosok tercinta yang berjarak, serta bermacam-macam kesamaan lain termasuk kawasan yang disinggahi di tengah perjalanan. Takdir penuh keajaiban (baca: kebetulan) mengaitkan hidup kedua bocah tersebut.
Butuh waktu sebelum benar-benar bisa dihanyutkan oleh alurnya. Bukan sepenuhnya kesalahan Haynes. Kelemahan justru condong ke arah skenario buatan Brian Selznick, yang juga penulis novel sumber adaptasinya. Selznick mentah-mentah memindahkan gaya tutur novel ke naskah, memunculkan transisi bernafsu antara dua periode. Sebelum benar-benar terikat oleh salah satu kisah, Wonderstruck sudah berlari menuju kisah lain, begitu seterusnya. Sulit berkonsentrasi pada salah satu. Alirannya gres lancar seiring makin jelasnya paralel dua cerita.
Haynes menyebut Wonderstruck sebagai misteri klasik di mana “mengapa” serta “bagaimana” dua kisah saling bertautan jadi daya tarik. Tapi misterinya sendiri kurang mengikat di paruh awal. Filmnya kekurangan alasan kenapa kita perlu peduli dan mau mencari tahu jawabannya. Suratan takdir dua aksara yang terpisah 50 tahun ini tampak bersinggungan. Yeah, so? Itu saja belum cukup menciptakan misterinya menghanyutkan. Barulah memasuki third act, saat jalinan teka-tekinya menampakkan wajah aslinya, intensitas meningkat. Walau alhasil antisipasi tinggi yang dibangun tak sebanding dengan balasan yang ditawarkan, beberapa kejutan hadir mengisi ulang energi Wonderstruck.
Penampilan Millicent Simmonds dan Oakes Fegley cukup solid namun keduanya belum bisa memanggul beban sendirian. Cengkeraman emosi terkuat selalu terjadi ketika Simmons dan Fegley membuatkan layar dengan orang lain, entah Julianne Moore yang matanya seolah bisa mengungkapkan jutaan kata maupun Michelle Williams yang walau muncul sekilas tetap memperhatikan detail ekspresi dalam berakting. Andai filmnya lebih mengikat di setengah awal perjalanan, babak pamungkas berisi claymation dalam miniatur luar biasa New York bakal dengan gampang memancing kucuran air mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar